Kutatap kembali wajah-wajah tersayang yang kini tengah berderai air mata. Aku harus bekerja, menyambung hidup di ibu kota. Menjadi asisten rumah tangga tak masalah, yang penting bisa menghidupi keluarga.
Warung sudah tidak berjalan karena banyaknya yang berhutang. Dama masih berjualan cilok yang dibuat Dita. Kita juga tidak bisa mengandalkan Adi yang kelakuannya semakin hari semakin tidak karuan. Tidak ada cara lain, aku harus meninggalkan mereka.
"Lin berangkat, Bu. Assalamualaikum." Kusalimi tangan kasar ibu, bukti perjuangannya dalam menghidupi keluarga.
"Iya, kamu hati-hati, Lin." Memeluk erat tubuhku, lalu mencium keningku lembut.
Ada rasa tak ikhlas dihati, tatkala pelukan itu harus terlepas. Kupeluk adik-adikku satu persatu dan mengucap salam. Satu langkahku keluar dari rumah, pipi ini bagai terguyur hujan. Jika ada cara lain asal aku tetap bersama mereka, mungkin aku akan memilih itu.
Kutatap deretan pohon lewat jendela bus yang kutumpangi. Menghitung jarak yang semakin jauh dari tempat kumemulai. Ada banyak harapan dalam benak, entah bisa kugapai atau tidak.
Terasa roda bus menggelinding semakin pelan, membuat mata yang semula terpejam kini terbuka perlahan. Sinar mentari menyorot tepat pada retina yang kini kuhalau dengan telapak tangan. Setelah berhasil netra ini terbuka sempurna, dapat terlihat diluar jendela kini bukan lagi pepohonan, melainkan rumah dan bangunan yang berjejer disamping jalan.
Rasa takut mulai menghantui, bagaimana jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Akankah aku bisa bertahan disini, ataukah justru terbuang dan menjadi gelandangan. Banyak pertanyaan diotakku yang entah kapan dapat terjawab.
Berjalan, dan berganti-ganti kendaraan menuju tempat yang dituju. Hanya mengandalkan selembar kertas dengan tulisan panjang yang menjadi petunjuk. Semoga saja kaki ini tak salah arah.
"Permisi...," panggilku diluar gerbang rumah yang kuyakini akan menjadi tempatku bekerja.
"Iya, Neng. Ada apa?" tanya seorang lelaki dengan perawakan tegap dan tinggi.
"Kamu yang bakal kerja disini 'kan?" sambung perempuan bule sambil berjalan kearah gerbang.
"Iya, Non." Kuanggukan kepala sambil tersenyum.
Lelaki tadi membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk. Dia begitu tinggi, terlebih untukku yang pendek ini. Memasuki rumah, aku diperkenalkan pada anggota keluarganya yang akan menjadi majikanku.
Aku sebenarnya bekerja sebagai babysitter, tapi begitu mulai kerja ternyata aku juga mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga. Tak apalah, asal ada pekerjaan. Aku dibayar Rp. 15.000.00-, per bulan.
Dua bulan aku bekerja disini, cukup menyenangkan. Meskipun lelah, tapi keluarga ini memperlakukanku baik. Kenapa aku berkata seperti itu? Karena kemarin, kudengar ada ART yang dianiaya oleh majikannya. Beruntungnya majikanku justru memperlakukanku layaknya saudara sendiri, terutama perempuan bule, dia sangat baik.
Selama itu pula aku terjebak dalam perasaan yang tak seharusnya ada. Ya, aku menyukai lelaki tegap itu. Namanya Toni, dia putra ketiga dikeluarga ini. Toni pernah terang-terangan menyatakan cinta padaku, dan jujur aku tak bisa menolak.
Aku dan Toni sama-sama mencintai, tapi sudah bisa dipastikan keluarga Toni tak akan menyetujuinya. Jadilah kami berpacaran diam-diam (Backstreet). Awalnya semua baik-baik saja, tapi begitu ibu tiri Toni mengetahui hubungan kami. Aku diberhentikan dari pekerjaan.
"Pergi, Kamu! Dasar perempuan tidak tahu diri. Bisa-bisanya kamu mendekati anak saya, coba lihat dirimu. Apakah pantas bersanding dengan anak saya? Tidak 'kan," bentaknya, sambil mendorong tubuhku keluar gerbang.
Dapat kulihat Toni yang bersujud dikaki ibu tirinya sambil meminta restu. Aku tahu, hubungan ini pasti akan berakhir seperti ini. Namun, diawal aku mengira akan ada keajaiban Tuhan. Nyatanya, aku harus terbangun dari mimpi dengan cara terjatuh.
Jalan Tuhan memang benar adanya. Dua hari aku tidur diemperan, diusir penjaga toko dengan makian, dan sekarang aku sudah memiliki pekerjaan. Aku bekerja mengangkat gerigen air dan makanan di pasar.
Setiap harinya aku mengangkat dua puluh liter air dimasing-masing tanganku. Menaiki eskalator yang belum dinyalakan. Aku ikut berjualan dengan pedagang di lantai atas, karena itu aku harus mengangkatnya.
Aku ikut tinggal di rumah bos ku bersama dua karyawan lain. Setiap malam kami saling memijat badan yang terasa sangat pegal. Namun demi keluarga, apapun akan kami lakukan.
Mengenai ibadah, aku masih melakukannya. Hanya saja bukan lagi puasa daud, tapi kuganti puasa senin kamis. Alasannya? Sudah tentu aku tak mampu. Dan Tuhan juga tidak pernah memaksa, yang terpenting kita tidak pernah lupa pada-Nya.
🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
Vote, Comment, & Krisan
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan angin malam✔
РазноеGadis pemimpi yang mengharapkan kehidupan lebih layak, berteman angin malam yang selalu bersedia mendengar keluh kesahnya. Akankah ia bisa mewujudkan mimpinya?