Selamat Datang

5 4 0
                                    

Dua tahun semenjak kematian adikku yang sempat membuat ibu merasa gagal dalam menjaganya, akhirnya tergantikan dengan senyuman setelah lahirnya adik perempuanku. Kelahirannya sedikit unik, karena ibuku tidak menyadari kelahirannya. Ia lahir kala ibu buang air besar, ibuku mengira rasa mulas yang ia rasakan hanya rasa mulas biasa mengingat usia kandungannya baru menginjak tujuh bulan.

Kami sangat bersyukur karena ibu segera menyadari bahwa yang keluar bukanlah kotoran, melainkan bayi mungil yang bersimbah darah. Maaf jika kalian sedikit jijik mendengar kisah kelahiran adikku ini, tapi kurasa kisah ini harus kutulis dan kuingat selalu. Kelahirannya memberikan kebahagiaan yang tak terhingga bagi keluargaku.

Adik perempuanku ini datang di waktu yang benar-benar sempurna, karena itu ibu menamainya Anindita. Nama yang cantik untuk bayi mempesona dalam pelukanku ini. Sejak kelahirannya, ia tak henti dihujani ciuman dari kakak-kakaknya.

Selama kehamilan ibu, aku kembali menggantikan tugasnya. Aku tak mau kejadian sebelumnya terulang, jadilah aku bekerja setiap hari. Mulai dari menumbuk beras sampai menanam padi di sawah. Tak peduli kaki semakin banyak luka dan gatal-gatal.

Banyak pengalaman baru kudapatkan, seperti makan bersama di bawah saung, membersihkan diri di sungai, dan ilmu dalam bercocok tanam tentunya. Semua kegiatan kujalani dengan senang hati, sebab sesekali ada saja petani yang melontarkan candaan. Membuat pekerjaan tak terasa begitu berat.

Suara adzan dzuhur menghentikan pekerjaan kami, pun sebagai tanda untukku segera pulang. Jalanan yang begitu panas terasa memanggang telapak kakiku yang tak beralas. Namun hal inilah yang membuatku semakin bersyukur ketika sudah sampai rumah, gubug kumuh ini terasa lebih nyaman, itu yang kurasakan.

Sekarang aku mulai terbiasa dengan keseharianku ini, begitupun Adi. Ia juga terpaksa berhenti sekolah agar bisa membantuku. Adi bekerja mengangkat adukan di tempat bangunan. Ia ikut bersama Uwa ke Jakarta.

Tapi untunglah saat ibu melahirkan, ia sedang di rumah. Jadi aku tak terlalu kerepotan. Terlebih saat ibu masih masa nifas, aku tidak tahu bagaimana keadaan rumah jika aku sendirian. Dama masih terlalu kecil, dan ayah, aku tak pernah berharap banyak padanya.

Ayah masih saja tak berubah. Semenjak kematian kakek---tak lama setelah kematian adik ketigaku--- kelakuannya justru semakin parah. Ia mulai berani menjual barang-barang milik kakek.

Kakekku sebenarnya bukan orang yang kekurangan, terbukti dengan tanah miliknya yang berhektar-hektar. Tapi dia memang keras dalam mendidik anak dan cucunya. Semua harus bisa menghidupi diri sendiri, jangan sampai bergantung pada orangtua, dan biasakan menabung sejak dini.

Kakekku pun bisa memiliki tanah dari hasil menabung. Meskipun aku tak yakin kalau pekerjaannya halal. Kepala adat, sepertinya itu nama yang pas untuk pekerjaan kakek.

Banyak orang bertanya tentang tanggal dan hari bagus untuk sebuah perayaan, seperti pernikahan dan khitanan. Kakekku menghitung perbintangan dan semacamnya untuk menjawab pertanyaan mereka. Kakekku juga menguasai bahasa Romawi, entah belajar dari mana.

Dulu aku dan Adi pernah diajari ilmu yang ia miliki termasuk bahasa Romawi. Berhubung usia kami saat itu masih kecil, jadilah kami tak paham apa yang kakek katakan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagai dongeng pengantar tidur untuk kami.

Kala tidak ada pekerjaan aku membantu orang menjual pakaian, berkeliling kampung menawarkan barang dagangan. Upahnya pun lumayan untuk menambah tabungan. Bukan lagi tabungan sekolah Dama, namun rencananya akan dijadikan modal usaha.

****
Setelah hampir dua minggu aku membantu menjual pakaian, akhirnya bisa juga aku membuka warung yang menyediakan kebutuhan pokok. Meskipun bukan toko besar dan masih belum lengkap, aku tetap sangat bersyukur. Setidaknya dengan ini aku bisa memutar modal.

Selayaknya warung kecil pada umumnya, tak sedikit orang yang berhutang. Untunglah aku masih bisa menyanggahnya dengan uang tabungan. Teruslah menabung, karena itu kuncinya.

"Lin, saya ambil rokok dua batang." Suara seseorang mengagetkan lamunanku.

"Ambil terus, kapan bayarnya?" ledekku, membuatnya sedikit merasa malu. Padahal aku tidak masalah, aku tahu permasalahan keluarganya.

"Kamu tahu lah, Lin. Pokoknya kamu tenang saja, sukses nanti kubantu kamu." Selalu kata itu yang menjadi andalannya, ku aminkan saja.

Takdir seseorang siapa yang tahu, bukan tidak mungkin esok dia atau pun aku bisa sukses. Kecil kemungkinanku, tapi bukan berarti tidak mungkin. Semakin dewasa, semakin aku mengerti bahwa Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.

Selalu bersyukur dengan apapun yang diberikan. Jalan tuhan itu unik, berliku untuk sebuah keindahan. Sama seperti mendaki gunung, bukan?

"Assalamualaikum, ka!" salam suara yang tak asing. Hanya Dama yang suka berteriak di rumah.

"Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?" tanyaku sambil menyambut uluran tangan Dama(cium tangan).

"Baik," jawabnya dengan wajah ditekuk.

"Yasudah, makan dulu yuk!" ajakku yang mengetahui alasan mengapa ekspresi Dama berubah.

Dama tak suka ketika ia baru pulang sekolah yang kubahas justru sekolah lagi. Menurutnya itu membosankan. Sebenarnya aku tau, tapi menyenangkan melihat perubahan ekspresi Dama yang lucu.

Dama menjadi siswa yang berprestasi. Tuhan begitu baik, kami memang keluarga tidak mampu, tapi tuhan memberikan otak yang berbeda untuk kami. Seperti aku yang sudah tak bersekolah, tapi mendapat julukan kalkulator karena kemampuan berhitungku yang kata orang sangat cepat.

Bukan maksud menyombongkan diri, namun sebagai contoh rasa syukur. Jangan terpatok pada apa yang tidak dimiliki sampai melupakan apa yang kita kuasai. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, tak peduli ia anak raja sekalipun.

🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙
Yang diatas itu motivasi, kalau kalian belum tahu😂

Vote, Comment, Krisan. Jangan lupa kakak😁

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang