Bau Tak Sedap

8 4 2
                                    

Aku dan adik-adikku baru saja pulang mengaji kala netra ini menyaksikan pemandangan mengerikan. Ayah hampir saja melemparkan botol minuman pada kepala ibu, beruntung Adi berhasil menggagalkannya. Ia mengambil paksa botol itu dari tangan ayah dan membuangnya.

"Ayah, apa yang kau lakukan!?" Aku melangkah mendekati ibu dan memeluknya sambil terus menyorot tajam pada ayah

"Kalian," ia menunjuk wajah kami satu persatu dengan tangan bergerak tak jelas, "Tidak usah ikut campur!" Ia membalas pelototanku, mata merahnya terlihat sangat menakutkan.

Dengan tubuh sempoyongan, ia mengangkat kursi dan melemparkannya pada kami. Namun karena ia mabuk, lemparannya salah sasaran dan mengenai bilik yang sudah reot. Dama menangis ketakutan, tak seharusnya ia menyaksikan ini.

'Tuhan, semoga tak terjadi apapun pada keluargaku,' doaku, sambil tak henti menyebut nama-Nya.

Ayah yang tampak kesal menendang pintu dan pergi entah kemana. Ku lihat keadaan ibu, terdapat luka tamparan di wajahnya. "Ibu, ayah lakukan apa saja tadi?" tanyaku yang hanya dibalas gelengan kepala.

"Bu, tolong jujur pada Lina. Lina tidak mau ibu kenapa-napa," tanyaku dengan raut khawatir bercampur sedih.

"Lho, kok putri ibu cengeng? Jangan menangis. Kalo kamu menangis, ibu tak yakin bisa tersenyum lagi." tangannya bergerak mengusap jalur tetesan di wajahku.

"Ibu jangan bicara seperti itu," protesku sambil berusaha menghentikkan tangisan ini. Kulihat Adi tengah menenangkan Dama, rupanya adikku sudah besar.

Kakiku bergerak tergesa-gesa menyiapkan air untuk mengompres luka ibu. Saat aku kembali, rupanya kedua adikku tengah membereskan kursi yang tadi ayah lempar. Kuobati ibu sambil mengajaknya bicara, dengan harapan ia tak terlalu merasa perih.

Malam berganti pagi, dan hari ini adalah hari minggu. Selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah, kedua adikku mengajaku bermain. Ternyata mereka mengajakku kesungai. Awalnya aku menolak ikut, tapi akhirnya aku ikut bermain air juga. Sedikit takut bermain disini, kalau ibu tau pasti akan marah besar. Air sungai ini tidak bersih, itu katanya.

Sungai ini memang menjadi tempat segala kegiatan. Mulai dari mencuci pakaian, membersihkan sepeda, tempat buang air, dan tak sedikit yang membuang sampah kesini. Oleh sebab itu ibu tak mengijinkanku bermain disini, takut luka di tubuhku semakin parah.

Karena ibu tak mengizinkan, sesekali aku kesini diam-diam. Pernah dulu aku ketahuan ibu saat bermain di sungai, ibu menghukumku dengan mengambil pakaianku. Aku pulang dengan berenang menyusuri sungai, lalu berlari cepat kearah pintu belakang rumah. Sungguh pengalaman yang menegangkan.

"Adi, Dama, sudah ya mainnya," ajakku dan langsung dibalas anggukan oleh mereka.

Kami pun pulang sambil bernyanyi. Burung kutilang, itu lagu favorit Dama. Ia selalu menyanyikkannya sambil bertepuk tangan dan melompat-lompat kegirangan.
Senang rasanya melihat senyum mereka, kejadian semalam membuatku takut mempengaruhi mental mereka, terutama Dama.

Kubawa netra ini menyusuri pemandangan yang tersaji. Meskipun hamparan sawah ini selalu kulihat setiap harinya, tetap saja berhasil merayu bibir untuk memuji keindahannya. Nampak pula diujung sana, gunung yang namanya selalu dikaitkan dengan Rahwana. Katanya, gunung itu adalah tempat ditahannya tokoh penculik Dewi Shinta. Apa kau tahu nama gunungnya?

Sampai rumah kami pun langsung makan, dan beristirahat sejenak dengan duduk dan saling bertukar cerita. Dama selalu jadi yang terheboh ketika bercerita, sedang Adi, kurasa dia dewasa terlalu cepat. Tekanan dalam hidup, membuat kami tak diizinkan semesta untuk berpikir layaknya anak-anak seusia kami. Kami masih bisa bermain, tapi begitu sendirian, banyak masalah yang memaksa untuk segera diselesaikan.

Waktu menunjukkan pukul 15.45 WIB. Aku dan kedua adikku pergi ke rumah salah satu tetangga yang menjual olahan singkong. Kami membantunya mengupas dan memarut singkong. Kami bekerja di teras depan rumahnya, terkadang beberapa orang ikut berkumpul disana. Jadilah kami bekerja diselingi obrolan ringan dan candaan.

Seperti saat ini, salah seorang tetangga bertanya tentang keributan semalam yang tak sengaja ia dengar. Aku dan Adi saling memandang, bertukar raut tanya satu sama lain—bingung harus menjawab apa—. Sedang Dama dengan polosnya ia menjawab, dan membuat orang-orang menatap kami iba.

Tidak, bukan pandangan seperti ini yang aku inginkan. Hidupku bukan untuk dikasihani, kami masih bisa tersenyum bukan? Jadi, tak ada yang boleh memandang seperti itu. Tapi aku juga tak dapat mencegah pandangan-pandangan itu, bagaimana ini.

"Kami tidak apa-apa, dan kalian bisa memberi pandangan lain pada kami 'kan?" retoris Adi dengan raut marah. Dia memang sedikit temperament, semoga mereka bisa mengerti.

Kupandangi mereka satu persatu, dengan bibir mengucap maaf tanpa suara. Mereka mengangguk dan tersenyum, untunglah mereka tak marah. Kurasa harus mengajari Adi untuk mengendalikkan emosi.

"Eh, iya. Bagaimana sekolah kalian?" tanya seseorang, sepertinya ia ingin menghilangkan suasana tak nyaman ini.

"Dama belum sekolah, Bi." Kami tertawa mendengar jawaban Dama, ia memang menggemaskan.

Sore yang dipenuhi tawa, akan kurekam kenangan ini dalam otakku. Bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman. Hal kecil seperti ini, mampu memberi kebahagiaan yang sangat besar.

🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
Doa Lin, semoga cerita ini banyak yang baca dan terinspirasi. Mau membantunya mengabulkan doa?
Jangan lupa Vote dan Comment.

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang