Putih Melawan Hitam

5 3 0
                                    

Delapan tahun berlalu, tak banyak perubahan dalam hidup. Hanya usia yang bertambah, dan karakter yang berubah. Yang kumaksud bukan ayah, mungkin ia akan terus seperti itu sampai tutup usia, entahlah.

Adi, ia berubah menjadi remaja berandalan. Salah pergaulan dan kurang perhatian membuatnya membentuk sebuah keluarga baru bersama kawan-kawannya yang memiliki kasus serupa. Perangai Adi hampir serupa dengan ayah.

Mabuk-mabukkan, mentatto lengan, dan mencuri. Kenakalan remaja yang tak berhasil kujauhkan dari Adi. Meski ia tetap seorang pekerja keras, namun pendapatannya selalu ia kuras untuk hal yang tak baik. Bahkan ia sempat tega menuduhku mengambil uangnya, sedang uangnya telah ia gunakan ketika ia mabuk.

Untunglah Dama tidak mengikuti jalan Adi. Pagi-pagi sekali aku dan Dita membuat cilok yang dijajakan Dama di sekolah-sekolah sekitar sini. Berkeliling menggunakan sepeda ontel yang kubeli dengan harga Rp. 65.000,00-, dari hasil tabunganku.

Dama hanya lulusan Sekolah Dasar. Pernah ada orang yang mau membiayai sekolahnya sampai S1, tapi tak diterimanya dengan alasan ingin membantu kakak. Padahal dengan ia menjadi sarjana akan jauh lebih membantu keluarga, tapi aku tidak bisa memaksa. Yang menjalani Dama, jadi biar Dama yang memilih mau kemana ia melangkah.

Sore ini aku baru pulang setelah menemui teman, namun begitu sampai pintu rasanya kaki malas untuk melangkah masuk. Ada seorang yang tak kusukai tengah bertamu. Aku tak mengerti mengapa lelaki ini terus saja mengejarku. Harus menggunakan cara apa lagi untuk membuatnya mengerti.

Lelaki ini tak pernah berhenti mendekati. Padahal, aku sudah sangat jelas menunjukkan penolakan. Pertama kali ia mendekatiku saat aku berusia dua belas tahun, dan dia bilang akan kujadikan kau istri yang paling bahagia.

'Oh, ayoklah. Usiaku masih sangat dini saat itu, dan sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda hatiku memilihnya.' kesalku dalam hati sambil menunjukkan wajah tak suka padanya.

"Hai, Senja. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang entah mengapa bagiku mengerikkan.

"Baik." Tak kubalas senyum yang kurasa palsu itu

"Kau tahu, aku sudah lama menunggumu," ucapnya masih mempertahankan senyum itu

Percayalah, aku tak perduli apapun itu mengenai dia. Yang kutahu, ia tak tulus mencintaiku. Dia hanya terobsesi, dan itu terlihat jelas dimatanya. Aku pun tak mengerti mengapa hatiku terasa enggan untuk mengenalnya lebih jauh. Seperti ada yang menghalangiku untuk mempercayainya.

Dulu, aku pernah berpikir untuk mengiyakan ajakan menikahnya. Tapi setelah aku menjalankan shalat istikharah, rasaku padanya justru semakin hilang. Semesta bagai melarangku dekat dengannya.

Aku melangkahkan kaki kebelakang rumah, sekedar untuk mengelabuinya. Biarkan ia berpikir aku sedang bersih-bersih di kamar mandi. Padahal, aku berlari keluar rumah untuk kabur.

Aku bersembunyi di rumah saudaraku yang tak begitu jauh. Tentu saja aku meminta agar keberadaanku dirahasiakan. Akupun menginap di rumah ini.

Esoknya aku segera pulang ke rumah. Ibu memberitahuku bahwa ia dan lelaki itu semalaman mencariku. Sedikit menyesal karena membuat ibu khawatir, tapi aku memang tak suka pada lelaki kaya itu.

"Kau tahu, Lin. Dia sampai berucap yang tidak-tidak tentangmu," ujar ibu yang membuatku sedikit kaget. Mengingat selama ini orang itu selalu sabar.

"Apa yang ia katakan, Bu?" tanyaku dengan wajah heran yang jelas terlihat karena adanya garis didahiku

"Dia bilang, kalau aku tak bisa memilikinya maka orang lain pun tak boleh." Benar bukan kataku sebelumnya, dia itu hanya menjadikanku obsesinya.

"Sudahlah, Bu. Tak perlu dipikirkan, ada Allah yang akan membantu Lin." Sejujurnya dalam hatiku pun takut, tapi aku tak boleh menunjukkannya dihadapan ibu.

Kukira orang itu hanya mengancam, tapi nyatanya tidak. Ia mengikatku dalam sebuah perjanjian ghaib. Semacam pelet, namun disini aku dibuat tak menarik dimata pria.

Awalnya aku tak begitu peduli, lagipula niatku sedari kecil adalah membahagiakan keluarga dengan membangunkan rumah yang layak. Tapi begitu keluargaku dihina karena aku yang tak kunjung mendapatkan pendamping, rasanya hati ini sakit. Aku tak peduli tentang diri ini, tapi aku sangat peduli tentang mereka.

"A, tolong lepasin Lin. Kita tidak ditakdirkan berjodoh, Aa harus terima itu," pintaku sambil memohon-mohon. Aku rela mengindahkan harga diri untuk kebahagiaan keluargaku.

"Ia, Mas. Lepasin Lin, apakah saya tak cukup?" bujuk istrinya yang tengah hamil muda.

Ia menatap wajah sang istri lalu menatapku. "Baiklah, saya lepaskan kamu. Tapi untuk melepas ilmu itu, kamu harus menemui guru saya," jelasnya, dengan wajah penyesalan.

"Ta–tapi guru saya sudah meninggal, Lin. Maafkan saya," sambungnya yang membuat lututku terasa lemas, aku terduduk dijalanan sambil menangis.

"Kenapa ya Tuhan...! Sedari kecil hanya tangis yang kau kenalkan padaku. Dimana kebahagiaan yang kau janjikan, dimana?!" Isak tangis menemani kekecewaan dalam doaku.

Tak seharusnya aku begini, tapi rasa lelah membuatku berpikir untuk menyerah. Air mata mengalir deras tatkala seluruh keluh kesah terucap. Kupukul-pukul kepalaku, menghilangkan segala kenangan buruk yang membuatku semakin lemah.

"Kau tak bisa diandalkan, menjaga anak saja tak bisa. Sekarang Lina terancam tak bisa berumah tangga dan tetangga akan semakin menghina kita. Kau memang tak becus, Day!" sentak ayah yang terdengar olehku.

"Cukup, Yah! Lin yang salah, bukan ibu," pekikku sambil berlari memeluk ibu dengan mukena yang masih kukenakan.

Tak peduli pada akhirnya badanku yang terluka akibat pukulan ayah, yang penting ibu baik-baik saja. Ayah melempar gagang sapu yang sempat ia gunakan dan pergi sambil menutup pintu kencang. Kulihat kondisi ibu, ada darah dikeningnya. Kupeluk tubuh ibu erat.

"Kau berdarah, Lin," ucap ibu sambil memegangi kepala bagian belakangku.

"Tak apa, nanti aku obati setelah ibu." jawabku, lalu beranjak mengambil kotak obat.

Esoknya, kubertanya pada guru mengajiku. Apa yang bisa kulakukan untuk menghilangkan ilmu ini. Guruku bilang, cukup dekatkan diri pada Allah dengan meningkatkan ibadah. Aku mengiyakan ucapannya.

Memang tak ada kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan-Nya. Dari saat itu, aku mulai mendekatkan diri pada Allah dengan niat ingin memperoleh berkah dan ridho-Nya. Kata guru mengajiku, beribadah itu harus benar-benar karena Allah, bukan yang lain.

Aku menjalankan puasa daud, mengaji, dan shalat malam. Ketiga adikku ikut melakukannya. Agar kakak tak sendiri yang kelaparan, katanya. Tiga tidak termasuk Adi, namun adik kecilku Anindya yang baru berusia lima tahun. Beruntungnya aku memiliki mereka.

🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙
Makin berantakan, makin gak ada feel, dan terburu-buru😩.

Vote, Comment, dan Krisannya kakak.

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang