Kujalankan hari-hari dengan bahagia. Sudah beberapa hari ayah tak pulang, dan entah mengapa hal itu memberiku sedikit rasa tenang. Tak ada ayah maka tak ada teriakan dan suara benda-benda terlempar, begitu pikirku.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku bekerja di tempat pencetakkan genting. Namun hari ini aku mencatat cukup banyak, jadilah tangan terasa pegal. Meskipun begitu, aku tetap semangat dalam bekerja tak peduli terik mentari menyorot tubuh hingga berhambur peluh.
Apapun akan kuusahakan untuk membantu ibu, sekalipun luka di tangan semakin bertambah setiap harinya. Bagi orang sepertiku, tak ada tempat untuk mengeluh. Jikalau aku jatuh, aku harus bisa bangkit sendiri. Lagi pula, siapa yang mau menyentuh tangan menjijikanku.
Selesai bekerja, aku membelikan jajanan untuk kedua adikku. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku membelikan jajanan untuk mereka. Bukan karena aku pelit, tapi akan lebih baik uang itu kutabung.
Sampai rumah aku langsung bersih-bersih dan menyediakan makan. Baru setelah itu kuberi jajanan pada adikku. Entahlah, akupun tak tau kenapa sebelum makan, anak kecil jarang diperbolehkan jajan.
Saat aku tengah membereskan piring dan nasi yang berserakan, ibu datang dengan jalannya yang pelan. 'Tumben ibu datang siang, ada apa yah?' pikirku bertanya-tanya. Namun saat kulihat darah di telapak tangannya, aku langsung berlari mengambil air dan minyak.
"Kok bisa berdarah si, Bu?" tanyaku khawatir sambil mengobati luka ibu perlahan, takut ibu semakin kesakitan.
"Tidak apa, Sayang. Ini karena ibu kurang hati-hati saja," ucapnya lembut, sembari satu tangan lain mengelus kepalaku.
"Luka di kepalamu sepertinya mulai mengering, Nak." Selalu saja, ibu membelokkan pembicaraan ketika aku menanyakan keadaannya.
"Iya, Bu." Aku tersenyum tipis padanya. Sedikit kesal sebenarnya, karena ibu tak pernah mau berbagi rasa sakit denganku, aku merasa tak berguna sebagai anak.
"Sepertinya, besok kita harus membeli tokek lagi." Yang satu ini semakin membuatku sakit. Karena luka di kepalaku, ibu harus membeli tokek yang harganya tak murah untukku.
Ibu menggunakan tokek untuk mengobati luka di kepalaku, dengan cara membakarnya sampai gosong, ditumbuk, lalu dibalurkan pada luka.
Luka ini kudapat sedari kecil, karena sanitasi memang belum digencarkan disini. Terlebih pusat pelayanan kesehatan pun jauh, jadilah ibu memilih pengobatan tradisional ini.Dulu, saat aku berusia lima tahun, aku terus menangis tak henti karena rasa sakit akibat luka ini. Seiring berjalannya waktu, aku pun terbiasa. Ketika awal masuk Sekolah, tak sedikit yang mengejekku. Salah seorang guru pun sempat membuatku sakit hati saat ia bertanya, "apakah aku tak pernah keramas? Kulit kepala sampai rusak begitu".
Saat itu aku hanya bisa menahan malu saat satu kelas menertawakanku. Tapi mau bagaimana lagi, itu memang benar 'kan? Kulit kepalaku memang rusak. Semakin besar aku semakin terbiasa dengan tatapan jiji dari beberapa orang, aku tak lagi merasa sakit hati.
Dibandingkan dengan sakitnya ibu, lukaku tak ada apa-apanya. Bayangkan saja, berjalan tanpa alas kaki karena tak mau menggunakan uangnya untuk membeli sandal. Belum lagi dulu saat kedua adikku merengek ingin ikut ibu bekerja, ibu sampai harus bekerja sambil menggendong kedua anaknya.
Ibu sering terluka, tapi tak ada sedikit pun keluh yang terlontar dari bibir tipisnya. Luka di tangan, masih bisa diobati. Tapi luka di hati? Pernah sekali waktu aku mendengar tangis ibu dimalam hari, ia menangis dalam sujudnya. Saat aku tanya kenapa ibu menangis? Ibu langsung menunjukkan senyumnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Ibu bagai malaikat tak bersayap bagi keluargaku. Ia selalu mengalah untuk anak-anaknya. Baginya, tak apa aku lapar, asal anak-anakku kenyang. Iya selalu sabar menghadapi ayah yang tak memiliki cerminan seorang kepala rumah tangga sedikitpun.
"Ya, Allah. Berikan kebahagiaan pada keluargaku. Jangan biarkan mereka meneteskan air mata, aku sangat menyayangi mereka. Jangan kau berikan ujian pada kami, kecuali kau berikan jalan keluarnya. Hanya kepadamu lah aku menyembah dan hanya kepadamu aku memohon pertolongan."
Kututup doa sore ini dengan berderai air mata. Entah mengapa saat berdoa, mutiara ini selalu tak berhasil kutahan. Angin seperti berbisik, untukku percayakan tetesan bening ini mengalir saat aku menghadap-Nya.
🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙
Tak pandai merangkai kata
Bukan berarti harus berhenti mencoba
Saat untaian ini tak ada yang tertarik
Sempat terbesit sumarah pada kalbu
Hentikan tangan yang menari-nari
Melarikkan aksa pada pesona lain
Namun, saat kutundukkan wajah
Dapat kulihat jalan yang sempat kupijak
Berada dalam pilihan sulit
Abaikan anca yang memberi semangat
Ataukah, menuli pada semua
Setelah lewati semua pertengkaran diri
Pilihanku jatuh pada, eunoia.🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟
Puisi diatas adalah curahan hati remahan putri salju, jadi jelek deh😅
Remahan emang gak punya bakat, jadi untuk kesalahannya, maafkeun🙏
Vote dan commentnya kakak
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan angin malam✔
RandomGadis pemimpi yang mengharapkan kehidupan lebih layak, berteman angin malam yang selalu bersedia mendengar keluh kesahnya. Akankah ia bisa mewujudkan mimpinya?