Idola

7 2 0
                                    

Setelah cukup lama bekerja di pasar, aku di ajak teman kembali bekerja menjadi ART. Mengingat gaji yang lumayan, membuatku mengiyakan ajakannya. Ternyata bukan hanya pendapatan yang lumayan, tapi juga kebaikan keluarga ini.

Aku menjadi babbysitter dari keluarga artis ibu kota. Siapa sih yang tidak mengenal pelawak yang identik dengan kumis kotaknya (Alm. Jojon). Aku tak hanya bisa berfoto, tapi juga mengobrol.

Beliau orang yang baik hati, ramah, dan pelawak sejati. Terbukti dengan ia yang sering melontarkan candaan pada orang rumah. Tapi tentu saja beliau juga memiliki wibawa tersendiri.

Lumayan lama aku bekerja disana, tapi aku ingin  mencoba pekerjaan lain. Bekerja di pabrik rumahan. Jujur, aku sempat berpikir bahwa aku telah memilih jalan yang salah.

Pendapatan yang sedikit, dan pekerjaan yang melelahkan. Setiap malam aku merasakan kaki yang pegal. Belum lagi para pekerja senior yang ..., ah sudahlah, akan menyakitkan jika dibahas.

Karena itu, aku tak lama bekerja menjadi buruh pabrik. Aku kembali menjadi babbysitter atas bantuan temanku. Oh, terima kasih untukmu.

Hari ini aku mulai bekerja, dan lagi dikeluarga artis. Kali ini bedanya, beliau pemain band. Jadilah aku sering dibawa ikut menyaksikan penampilannya.

Penampilan yang paling memukau, pada saat perayaan tahun baru. Saat itu ia manggung di ancol. Penampilan yang disambut kembang api warna warni dilangit jakarta. Benar-benar memukau mata.

Aku merasa sangat beruntung, karena selalu mendapat bos yang baik. Disini aku merasa semakin berisi. Karena keluarga ini membolehkan pekerjanya mengkreasikan bahan makanan di dapur.

"Lagi bikin apa, Lin?" tanya kepala keluarga disini sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Eh, ini pak. Lagi bikin burger," jawabku dengan tangan yang tengah membolak-balik daging.

"Buatkan sekalian untuk saya satu, ya. " Aku mengangguk sebagai jawaban. Bukannya tak sopan, hanya saja aku tengah berkonsentrasi mengerjakan yang lain.

Kembali dengan burger, aku membuat lima. Jangan salah paham, ini untuk kubagikan pada pekerja lain. Mereka pasti senang, pikirku.

Kusajikan satu untuk pak bos yang tengah meminum kopi di teras belakang rumah. Satu kuberikan pada pak satpam yang tengah berjaga. Dan sisanya untukku dan kedua temanku.

Keluarga ini membebaskan pekerjanya bermain keluar di malam hari. Aku sering mengobrol di warung mie ayam bersama beberapa teman yang juga perantau. Kami berbagi cerita dan pengalaman. Kau mau dengar salah satu pengalamanku?

Sedang ada tamu yang datang, kudengar pemusik juga. Saat aku berjalan ke kamar anak keluarga ini, bermaksud memberikan makanan. Kulihat sedang ada yang bercermin. Wajahnya seperti tak asing, tapi ada yang berbeda.

'Siapa, ya?' saat batinku tengah bertanya-tanya. Dia menjelaskan kebingunganku dengan sebuah kacamata hitam. Itu dia, itu ciri khasnya.

Entah mengapa saat aku mulai mengenali, serasa ada musik yang terputar di otakku. Selayaknya penggemar pada idola, akupun merasakan perasaan yang sama. Kebahagiaan yang tak bisa diutarakan.

Tapi aku tak bisa menemuinya sekarang. Aku harus mengantar makanan terlebih dulu. Jadilah aku meninggalkan pemandangan yang membuatku bahagia.

"Pak, mba Atiek cb nya kemana?" tanyaku yang melihat ruang tamu sudah kosong dan hanya bersisa gelas-gelas kosong.

"Sudah pulang, Lin. Memangnya kenapa?" Kugelengkan kepala, membahasnya hanya akan membuat perasaanku semakin hancur.

"Ya sudah, mumpung kamu disini. Tolong bereskan, ya." Aku mengangguk dan tersenyum. Entahlah, mengapa bibir ini menjadi malas berucap.

Jujur saja, kubereskan gelas-gelas ini dengan hati yang tidak terlalu ikhlas. Gagal sudah aku meminta tanda tangan idolaku. Bukannya berlebihan, tapi aku memang sangat mengidolakannya.

Tadi aku sempat melihat matanya, anggota tubuh yang tidak pernah ia perlihatkan di depan media. Aku sempat tak mengenali karena ia tampak berbeda jika tanpa kacamata. Begitulah pengalamanku, menarik tidak?

Lama aku bekerja disini, tak terasa sudah idul fitri saja. Hari raya tahun kemarin aku tak pulang, karena uang belum terkumpul. Kira-kira seperti apa ya mereka sekarang?

Rasa senang menyelimutiku di sepanjang perjalanan menuju kampung halaman. Rindu yang selama ini kutahan, segera terobati. Kebahagiaan yang tak terhingga menandai jalanan yang kulewati.

Jalan dengan deretan pepohonan, yang meneduhkan hati. Sawah terbentang, menyejukkan pandangan. Gunung mengelilingi, bagai benteng pertahanan.

Kaki mulai melangkah, meninggalkan jejak di tanah. Kuhirup aroma pedesaan, yang kurindukan. Netra ini menangkap lokasi yang menjadi saksi kebahagiaan sederhanaku dulu. Lapangan dengan rumput hijau, yang semesta rawat.

"Assalamualaikum," salamku di depan pagar rumah.

"Waalaikumsalam, cari siap— Kakak!" pekik Dya yang masih mengenaliku. Oh, adik kecilku.

"Ada apa Dya, kenapa berisik sekali?" tanya Dita yang nampaknya tengah memasak, karena ia tengah memegang spatula.

Dita memandangku, sedetik kemudian pelukan hangat terasa begitu erat di tubuh ini. Perasaan bahagia tak terhingga kurasakan, terlebih saat netra ini menangkap wajah malaikat tak bersayap. Ibu sedikit berlari, kain jarik yang dikenakan memperlambat langkahnya.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya ibu sambil tersenyum. Lalu kupeluk erat tubuhnya, rasa hangat ini yang kurindukan.

"Lin baik, Bu. Ibu bagaimana?" kubertanya tanpa mau melepas pelukan ini.

"Alhamdulillah, Allah menjaga." Aku tahu maksud dari jawaban ibu. Tapi, akupun tahu ibu tidak akan jujur tentang ini. Biarlah waktu yang menjawab.

Aku bereskan rumah setelah lewat idul fitri satu minggu. Alasannya, karena harga kebutuhan mulai kembali normal. Jadi bisa sedikit menghemat, 'kan.

Aku tak sendiri membereskan rumah ini. Ingat pemuda yang sering berhutang rokok? Dia sukses sekarang. Dia menambah uang untuk membereskan rumah.

Mimpiku jadi nyata, memang tidak persis, tapi ini lebih baik dari pada tidak sama sekali. Dinding putih tanpa banyak hiasan, genting yang kini tak bocor lagi, tanaman gmelina yang kutanam pengganti pagar, dan perabotan rumah tangga yang lebih layak.

Kini masing-masing memiliki kamar, tidak hanya satu. Di masing-masing kamar pun sudah ada lemari dan ranjang, jadi tak perlu tidur di bawah. Untuk lemari lama, aku tetap memajangnya sebagai pengingat masa laluku.

Aku kembali berjualan, alasannya karena tak ingin jauh dari mereka. Terlebih Adi yang akan segera menikah, disusul Dita yang sudah ibu jodohkan. Ibu bilang Dita sering berganti-ganti kekasih, karena itulah ibu menghentikannya dengan sebuah ikatan suci pernikahan.

🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙
Angin

Hembusan angin membelai surai di malam ini, memperkenalkanku pada kelembutan semesta.
Tatkala hati kebingungan mencari pegangan, angin membisikan ketulusan.
Saat murung menguasai, angin menarik senyuman pada paras ini.
Tak ada warna dihidupku, dan angin memperkenalkannya.
Hanya satu hal yang belum kau lakukan, menunjukkan diri.
🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟🌙🌟

Makin gak jelas.
Vote, Comment, Krisan.

Senja dan angin malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang