4 | Permusuhan

12.3K 1.7K 109
                                    

Vote dan komen yuk. Makasih, ya.
***

Setiap ucap punya konsekuensi, begitu juga diam.
🥀

Suasana mendadak mencekam. Rosa bisa merasakan sejak ia berjalan dari lorong gedung kuliah sampai kantin, walau ia berjalan sendirian. Tapi Rosa yakin di belakangnya, dalam jarak yang terjaga, sosok Ren tetap mengikuti. Untung Ren masih punya hati dan tidak memaksa berjalan beriringan.

Ren adalah pemicu masalah saat ospek empat tahun lalu. Namanya melejit saat kediktatorannya membuat banyak mahasiswa baru merasa tertekan. Orang tua yang tidak terima lantas menuntut nama Ren agar diadili. Namun ada sebagian mahasiswa yang mendemo sekaligus menolak. Anggota penolakan itu adalah mahasiswa yang bandel dan biang onar, teman-teman Ren, beberapa lagi adalah mahasiswi yang mencari perhatian Ren agar aksinya dilirik lelaki itu.

Dua tahun Ren menghilang membuat kampus itu terasa hening. Kemunculan Ren lagi jelas memicu tanda tanya sekaligus ketakutan baru. Walau sebagian besar mahasiswa yang mengenal Ren sudah lulus, tapi nama Ren Antonio tetap tersebar turun temurun. Hingga mahasiswa di sana merasa dikejutkan saat nama itu kembali muncul.

Ren dikenal berdarah dingin. Percakapan dari mulut ke mulut cepat tersebar sejak Ren masuk kuliah Senin kemarin, sekaligus membawa nama Rosa di sampingnya. Semua orang tahu betapa kosongnya 'tempat' di sebelah Ren selama ini. Tidak ada perempuan yang ia lirik satu pun di kampus sejak menjadi mahasiswa baru sampai hari itu.

Pandangan orang kini tertuju pada mereka. Di mana Rosa yang pucat pasi berjalan ke arah pojok kantin, sedangkan Ren berhenti tapi tatapannya tak lepas dari langkah Rosa.

Di sudut kantin, Rosa benar-benar bernapas lega saat menemukan dua temannya. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi dan memegang dahinya yang berkedut nyeri.

"Kamu sakit, Ros? Pucat banget," tanya Indri setelah mengalihkan pandangan dari Ren yang berbalik arah.

Sedangkan Olif masih melihati sosok Ren yang berjalan menjauh setelah memastikan Rosa duduk. Tatap sekitar masih terpaku pada Ren. Jelas cara Ren 'mengantar' Rosa tadi memicu rasa penasaran di benak para mahasiswa.

"Dimakan dulu supnya." Olif menyodorkan semangkuk sup ayam ke hadapan Rosa. Tadi ia terkejut luar biasa saat suara Ren mengalun di ponselnya. Ia langsung berpikir bahwa Rosa tidak baik-baik saja.

Rosa menarik napas dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Bayangan pemukulan di depan matanya tadi membuat ia lemas. Bunyi pukulan di rahang Ren masih ia ingat. Bahkan darah yang mengalir di sudut bibir Ren juga terpatri jelas, membuat ia sedikit mual.

Indri yang menyadari itu segera meminta tolong Olif membelikan teh hangat. "Kamu beneran sakit kayaknya," gumamnya melihat kondisi Rosa yang pucat pasi.

"Nggak apa-apa," jawab Rosa pelan. Ia mengusap dahinya yang sedikit berair. Keringat dingin sangat membuatnya tidak nyaman.

"Nih, tehnya."

Rosa mengangguk dan meneguk teh hangat yang Olif sodorkan. Bukan berlebihan, tapi seumur hidup, Rosa memang tidak pernah melihat perkelahian di depan mata. Melihat darah di bibir Ren tadi, walau tidak banyak, mengingatkannya pada Ren yang menusuk jarinya sendiri. Tiga tahun lalu.

Bukan takut darah atau bahkan trauma atas kejadian itu, hanya saja, semua yang berhubungan dengan Ren terasa seperti mengganjal bagi Rosa. Tentang apa pun itu. Detik pertama ia melihat Ren lagi kemarin, ia merasa seperti ada yang belum berakhir meski telah diakhiri. Ada yang perlu dijelaskan meski semua urusan mereka telah selesai.

"Udah mendingan?"

Rosa menatap Olif dan tersenyum kecil. "Udah. Makasih ya."

Untung kedua temannya tidak bertanya apa pun tentang kejadian tadi. Di saat banyak orang menatap penuh penasaran padanya, Indri dan Olif yang memiliki kesempatan untuk bertanya justru sangat menjaga perasaannya dengan tidak membahas apa pun tentang Ren.

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang