34 | Teror

7.1K 1.2K 176
                                    

Bukankah merelakan itu melegakan?
🥀

Ada yang terasa menyakitkan saat Rosa mendapati Ren berdiri di depannya. Sedang ia duduk di tepi tempat tidur dengan segala hal yang ingin diutarakan tapi tak sampai pada kata. Rosa selalu gagal berkata-kata. Ia ingin Ren mengerti tanpa perlu bersusah payah menerangkan. Tapi itu tidak mungkin dan Rosa tidak mau egois.

Rosa menunduk beberapa saat. Ia sudah siap untuk berdiri saat Ren menahannya dengan gerakan dagu.

"Di situ aja." Nada suara yang begitu rendah dan datar.

Sekelebat, Rosa melihat kilat kekecewaan bercampur kemarahan di kedua bola mata Ren. Lelaki itu tetap berdiri di depannya, menatap tajam dan intens seolah tidak ada objek lain yang bisa mengalihkan pandang.

"Kamu sengaja mau bikin aku marah."

Lagi-lagi Ren mengucapkannya tanpa nada. Rosa masih memberi waktu untuk Ren melampiaskan kemarahan. Ia siap menerimanya, dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Ini memang kesalahannya.

"Sekarang aku tahu kenapa Abri sering hubungi kamu." Ren angguk-angguk kepala, seakan menemukan sebuah titik terang akan semua yang terjadi selama ini.

"Aku nggak ada apa-apa sama dia."

Ren membelalak. Ada keterkejutan saat balik menatap wajah Rosa. Ia menumpukan satu tangan di pinggang, sedang yang lain mengusap wajah dengan gusar. Beberapa kali ia dongakkan kepala dengan tawa pelan. Begitu lirih dan penuh kekecewaan.

"Serius kamu pikir aku nanyain itu?" Ren bertanya pelan, tapi ia tidak membutuhkan jawab. "Yang aku permasalahin bukan hubunganmu sama Abri," desisnya tajam.

Rosa tidak sanggup. Ia merasa matanya perih saat menahan tangis. Ada air yang sudah menggenang di pelupuk mata tapi ditahan sekuat tenaga.

"Kamu emang suka banget ngelakuin hal yang bisa celakain diri kamu sendiri." Ren mulai bisa meluapkan lewat kata. "Dulu kamu ikut mobil Abri biar aku lihat terus nyusulin kamu. Sekarang kamu sengaja masuk perusahaan papanya biar apa? Biar aku tahu, terus kamu berharap aku selamatkan kamu dari sana? Apa kamu nggak tahu kalau kamu kenapa-kenapa itu sama aja hancurin aku? Apa kamu ngerasa aku sebegitu kurang peduli sampai kamu cari cara biar aku perhatiin? Kamu nggak bahagia sama aku—"

"Kak Ren, bukan—"

"Aku belum selesai bicara, Rosa Azalea!"

Tanpa sadar Rosa menunduk semakin dalam. Kabut tipis melapisi kedua matanya, mengaburkan pandangan. Walau bukan bentakan, tapi geram Ren membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak berniat menuntut perhatian dan kepedulian Ren, karena apa yang lelaki itu beri padanya sudah lebih dari cukup. Tapi kenapa Ren berpikir bahwa dirinya sendiri kurang bisa membuat Rosa bahagia?

Melihat Rosa tertunduk dalam dengan tetes air mata yang sempat Ren lihat, jelas mengiris perasaannya. Ren kembali mendongakkan kepala, meredakan napas yang memburu. Hampir tidak menyangka Rosa melakukan itu.

Dalam detak jantung yang berusaha ditenangkan, juga deru napas yang setiap tarikannya terasa menyakitkan, Ren menatap Rosa beberapa saat, sebelum berbalik.

"Kak, jangan pergi."

Langkah Ren terhenti. Ia menolehkan kepala ke samping, walau wajah Rosa tetap tidak tertangkap sekalipun oleh sudut matanya. "Kamu mau pulang atau nginap di sini?" tanyanya, masih dengan kekecewaan yang pekat.

Sudah lewat pukul 8, hampir jam 9 malam dan Ren merasa belum bisa bertatapan dengan Rosa untuk saat ini. Ia tidak yakin bisa menangani dirinya sendiri. Bukan karena takut kemarahannya merugikan, namun justru waswas jika kecewanya dianggap berlebihan. Padahal yang dirasakan memang sesakit itu.

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang