39 | Dua Pilihan

7.9K 1.3K 199
                                    

Aku mengerti bahwa hidup adalah tentang kehilangan.
🥀

Menanti sebuah pintu di depannya terbuka rasanya mendebarkan. Berkali-kali Rosa bolak-balik di depan ruangan sambil melihati pintu. Ada plang tertulis "Sedang Ada Ujian", makin membuat degup jantungnya tak karuan. Bagaimana kalau Ren tidak berhasil memaparkan skripsinya? Bagaimana kalau Ren tidak bisa menjawab pertanyaan dosen penguji? Bagaimana kalau ....

"Ren pasti bisa, Ros. Yakin sama gue."

Rosa menoleh ke belakang. Gilang dan Sam pasti menertawakannya yang sedari tadi mondar-mandir. Ia meringis malu, memutuskan duduk di deret kursi tepat di samping Gilang. Tangannya masih panas dingin.

Menunggu lumayan lama, akhirnya yang ditunggu tiba. Pintu terbuka dan sosok tinggi itu keluar dengan senyum tercerah yang pernah dilihat Rosa, Gilang, dan Sam. Selembar kertas di tangannya sengaja dikibarkan seolah menunjukkan bahwa ia telah berhasil melampauinya.

Ketiganya berdiri. Saat Gilang dan Sam langsung menghampiri Ren dan menepuk bahunya dengan bahagia, Rosa justru masih terpaku. Ren dengan kemeja putih dan celana kain, serta rambutnya yang dipotong rapi, membuat Rosa membeku. Belum lagi senyum jenaka menanggapi ucapan dua temannya membuat Rosa mendadak mengalihkan pandangan.

Kenapa Ren harus setampan itu, sih?

"Ros, sini," ujar Sam melihat Rosa masih terdiam.

Rosa mengangguk dan mendekat, tepat di depan Ren. Ia mendongak saat lelaki itu mengulurkan selembar kertas. Dibacanya dengan teliti, senyum haru seketika muncul. Lulus tanpa revisi? Itu adalah keajaiban.

"Peluk, lah, Ren. Nangis tuh cewek lo." Gilang menyikut lengan Ren.

Tapi ini di kampus. Ren tidak segila itu untuk melakukan hal-hal yang intim di sana. Melihat Rosa mendongak menatapnya dengan senyum dan air mata yang sudah diseka, ia hanya mengusap puncak kepala gadis itu.

"Selamat, ya," ucap Rosa lirih. Kelegaan mengaliri hatinya. Seharusnya ia tidak perlu takut. Bukankah Ren memang sehebat itu?

"Masih ada kuliah abis ini?" tanya Ren. Tadi Rosa tidak menemaninya sejak awal ujian memang karena ada kuliah. Dan ia tidak bisa memaksa.

"Nggak ada." Rosa menggeleng pelan.

Baguslah. Ren sangat merindukan Rosa. Seminggu terakhir hanya bertemu di kampus dan itu pun sebentar, membuatnya ingin sekali memeluk gadis itu lama-lama setelah ini.

Suara pintu terbuka mengagetkan semua yang ada di sana. Dua dosen penguji sudah lebih dulu melewati mereka. Terakhir adalah Pak Jon, yang langsung berhenti melihat ada siapa saja di sekeliling Ren. Seperti tidak menyangka, Pak Jon bahkan menurunkan kacamatanya dan melihati dengan teliti.

"Kalian ...." Tangan Pak Jon menunjuk Rosa dan Ren bergantian. "Beneran jadi?"

Seketika Ren tertawa. Ia jadi ingat di awal perkuliahan Pak Jon dulu. "Bener, kan, Pak? Saya tuh pantang menyerah."

Pak Jon angguk-angguk kepala. Pria itu mendekat ke Ren dan menepuk bahunya. "Semoga kamu semakin bertanggung jawab, ya. Ada perempuan yang harus kamu bahagiakan selain mama dan adik-adikmu. Dan satu lagi, jangan lupa undang saya kalau besok kalian nikah. Itu kan janji kamu?"

Ren mengangkat ibu jarinya. "Siap, Pak."

Pak Jon baru akan berlalu setelah memberi senyum ke Rosa saat melihat sesuatu. "Siapa itu ngumpet di belakang Ren?"

"Samuel, Pak!" seru Gilang dengan lantangnya. "Tinggal dia yang belum lulus sendirian, jadi ngumpet."

"Memangnya kamu sudah?" tuduh Pak Jon pada Gilang.

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang