Untuk apa kita berjuang,
kalau tahu pada akhirnya tetap terpisahkan?
🥀"Maksud kamu?"
Rosa tahu, cara kakaknya bertanya adalah wujud kekecewaan paling nyata serta bentuk kesedihan paling kasatmata. Itulah sebabnya Rosa memilih memalingkan muka, tidak ingin melihat kilat putus asa yang sangat kentara di wajah kakaknya.
Suara Rosa tercekat saat kata-kata itu keluar dalam satu tarikan napas seolah takut kehilangan keberanian jika menundanya sedetik saja. "Iya, dia pacar Rosa."
"Ya Tuhan ...."
Rosa makin memejam mendengar bagaimana cara Salju berkeluh atas jawaban yang baru ia lontarkan. Sampai-sampai ia tak sanggup jika harus menghadapi raut kecewa Salju setelah ini. Karena satu dari jawabannya sudah cukup menyakiti.
Sunyi di antara mereka, mendadak terpecah saat Rosa menyadari satu hal. Kakaknya terisak. Dan isakan itu kemudian tertutup suara bedebam pintu lemari yang dibuka secara paksa. Rosa mengalihkan pandangan, melihat dengan jelas Salju yang mengobrak-abrik lemari pakaiannya seakan mencari sesuatu. Jantungnya langsung bertalu, seakan menggedor dadanya saat melihat apa yang ditemukan kakaknya. Seragam SMA.
"Apa kamu nggak inget ini, Ros?!" Nada suara Salju meninggi. Ada isakan yang lolos dan itu sungguh menyakiti. Salju menghampiri Rosa dengan kemeja putih yang setiap bekas lipatannya menimbulkan jejak, saking lamanya bersarang di lemari tanpa tersentuh. "Dulu kancing baju ini rusak. Semuanya. Kamu nggak inget siapa yang ngelakuin itu, ha?!"
Rosa mengangkat tangan, hampir meraih baju di tangan Salju yang bergetar. Ini seperti kembali ke masa itu, di mana kakaknya teramat sedih melihat keadaan Rosa sepulang dari hotel. Di mana kakaknya terduduk lemah di lantai demi memintanya menjawab 'baik-baik saja'. Kilasan yang lagi-lagi membuat Rosa mengernyit nyeri. Seumur hidup, baru itu ia dapati Salju begitu jatuh hanya karena mendapati adiknya mendapat perlakuan tidak baik dari seorang lelaki.
"Rok ini juga sobek di bagian belakang! Dan kaitan bra kamu rusak apalagi celana dalam kamu sobek berdarah di mana-mana, Rosa. Dia udah nyakitin kamu seberengsek itu dan kamu malah jatuh ke pelukannya?!" Suara Salju menggelegar. Ada selaput bening yang melapisi kedua tatap tajamnya. Ia membanting baju-baju itu ke lantai dan menghampiri Rosa lebih dekat. "Kakak nggak tahu jalan pikiranmu!"
Rosa tidak pernah menyalahkan atas kekecewaan itu. Semua berhak marah atas keputusan egoisnya menerima Ren, yang artinya harus membuat keluarganya marah. Tapi ... Rosa tidak menyangka bahwa sakitnya akan separah itu. Ini bahkan baru kakaknya, bagaimana dengan mamanya? Papanya?
"Udah berapa lama kamu ketemu dia lagi?"
"Setahun."
"Setahun?!"
Salju kembali berdiri tegak. Walau begitu, Rosa melihat kakaknya begitu rapuh. Hal yang membuat air mata Rosa juga ikut meluruh. Terlebih Salju berjalan lunglai, meraih kursi dan duduk di sana, menempelkan kedua siku di meja dan menutup wajah dengan gusar.
"Apa kamu nggak inget gimana keadaanmu dulu?" Kali ini Salju bertanya lirih, nyaris tidak terdengar Rosa kalau saja mereka tidak terlalu dekat.
Rosa mengamati Salju yang menunduk dan terduduk di kursi. Bisa dilihat dengan jelas bahunya bergetar pelan. Rosa ingin menenangkan, tapi percuma. Satu kenyataan itu memang sudah memberi sakit yang lebih daripada dulu, saat tahu bahwa Rosa disakiti dengan sangat tidak bertanggung jawab oleh seorang lelaki. Jadi Rosa hanya membiarkan keduanya terdiam dengan tangis masing-masing.
"Rosa sayang dia, Kak."
Lagi, satu kejujuran Rosa mengundang isakan Salju lebih dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Patah Hati
Romance"Kalo gitu biar lebih ringan, ayo kita jemput patah hati kita sama-sama." Ren Antonio adalah mahasiswa semester akhir yang ditimpakan fitnah atas pelaku kekerasan serta penyekapan. Satu kesalahan terbesarnya adalah menyekap Rosa Azalea demi balas bu...