9 | Pertemuan

9.3K 1.6K 125
                                    


Saat marah, terkadang seseorang bisa mengeluarkan ucapan tanpa sengaja dan berdampak tidak baik untuk ke depannya. Ucapan yang asal keluar dari mulut tanpa pertimbangan apa pun. Itu yang membuat Rosa enggan marah-marah selama ini. Satu kali ia melakukannya pada Ren dan hasilnya sangat membuatnya menyesal.

Seperti pagi ini, Rosa sudah mengecek ponsel berulang kali, meyakinkan diri bahwa tanggal 21 memang benar-benar tiba secepat itu. Kemarin-kemarin ia tidak memikirkannya terlalu serius, tapi saat tiba waktunya, kenapa Rosa merasa sangat bodoh?

Paling tidak harusnya Rosa menanyakan tujuan Ren mengajaknya, kan? Bukan malah mengumpankan diri begitu saja. Ingatkan Rosa untuk tidak pernah marah-marah lagi, kalau bisa seumur hidup. Karena hasil dari marahnya membuat harinya justru berantakan.

Sedari semalam sampai pagi ini, Rosa bahkan tidak berhenti mengecek ponsel, menunggu—mungkin saja—pesan dari Ren yang mengingatkannya pada tanggal itu. Rosa jelas tidak menghubungi lebih dulu. Selain sudah menghapus nomor Ren tepat saat lelaki itu menambahkan nomor sendiri di ponsel Rosa, juga karena pesan Ren selama ini segera Rosa hapus tanpa perlu repot-repot membaca. Akhirnya, Rosa tidak punya jejak sama sekali dengan nomor Ren.

Terakhir Rosa dihubungi pun sepertinya sudah seminggu yang lalu. Ren kerap mengirim pesan random ke Rosa, kadang hanya emoticon, atau berisi nama Rosa saja.

Sampai di kampus pun, Ren tidak ada tanda-tanda ingat dengan janji mereka. Lelaki itu tetap seperti hari sebelumnya selama beberapa minggu ini. Memaksa duduk di sebelah Rosa, merecoki Rosa yang hanya bisa mendiamkan tanpa bereaksi, dan tentu saja tetap mencoret lengan Rosa walau tidak separah dulu.

Rosa selalu membersihkannya dengan lotion setiap selesai mata kuliah jika sekelas dengan Ren, karena lelaki itu tidak membiarkan Rosa keluar kelas tanpa jejak, meskipun hanya coretan di lengan. Memang laki-laki caper yang aneh.

"Ros, gue mau tanya."

Bisikan itu tanpa sadar membuat tubuh Rosa menegang. Apa Ren sudah ingat kalau mereka ada janji? Sejujurnya, Rosa berharap Ren lupa.

"Nggak jadi aja, lo pasti nggak mau jawab."

Ren benar-benar totalitas menjadi lelaki tidak jelas. Paket lengkap!

Entah, Rosa merasa hari itu Ren tidak secerewet biasanya. Tidak pendiam tentu saja, hanya berkurang kadar usilnya. Mungkin Ren sedang banyak pikiran, dan Rosa tidak peduli, mungkin itu juga yang membuat Ren lupa perihal 'tanggal 21' itu. Rosa sangat bersyukur jika memang begitu.

Sampai kuliah selesai, Rosa langsung memberesi buku dan berdiri. Untuk terakhir kali Rosa menunggu gerak-gerik Ren yang menahannya sekadar bertanya apakah Rosa masih ingat janjinya mengiyakan ajakan bertemu mama Ren. Tapi sampai pintu pun, itu tidak terjadi.

"Langsung pulang, Ros?" tanya Olif yang berjalan di sisi kiri Rosa.

"Iya."

"Bersihin tangan kamu dulu, tuh."

Rosa mengangguk, hampir saja lupa. Mereka lalu berjalan ke toilet dan berdiri di depan wastafel dengan cermin besar.

"Aneh banget itu orang," gumam Olif sambil melihat kegiatan Rosa yang sedang membersihkan tangannya sendiri.

Rosa tahu yang dimaksud Olif adalah Ren.

"Tapi aku amati, gambarnya keren-keren, Lif," sahut Indri sambil terkikik. "Waktu itu ada love-nya, kayak anak SD banget dia pake cinta-cintaan gitu."

"Bukan cinta-cintaan," sela Rosa langsung.

"Iya, Ros, sensitif banget." Indri sudah tertawa. "Maksudku, cara dia caper itu lucu, sih."

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang