38 | Sebuah Restu

8.1K 1.3K 206
                                    

Akhirnya, kita kembali ke peran masing-masing.
Aku memperjuangkanmu dan kamu memperjuangkanku.
🥀

"Kasihan Abri. Emang nggak bisa apa Rosa nerima dia gitu, bantu jalanin hidup biar nggak kayak gini akhirnya."

"Iya. Lagian gue percaya Abri beneran suka Rosa. Cowok kalo udah sayang kan pasti bisa berubah jadi lebih baik."

"Sayangnya Rosa lebih pilih Kak Ren yang nggak jelas itu. Kalo gue jadi temen deketnya Rosa, udah gue bego-begoin mau-maunya sama cowok berengsek. Padahal dia bisa dapat yang lebih segalanya dari Kak Ren."

"Menurut gue sih Kak Ren cuma pengin menang atas Abri doang. Abis ini, gue berani taruhan kalau dia pasti ngelepas Rosa. Dijamin."

"Jangan-jangan, kematian Abri karena ...."

Rosa berbaring gelisah. Mengingat gunjingan yang didengarnya saat di pemakaman Abri tadi makin membuat kepalanya sangat pening seperti dihantam banyak pukulan. Ia meringis kecil merasakan serangan pusing itu tiba-tiba menderanya.

"Aku udah hubungi Kak Ren."

Itu suara Olif yang duduk di belakang Rosa. Karena memang di sanalah ia berada sekarang. Pertama kali ia merasa bahwa keluarga bukan lagi tempat pulang saat dihadapkan pada masalah sehingga Rosa memutuskan mencari tempat lain.

"Beneran nggak mau makan, Ros?" tanya Indri khawatir.

Menceritakan permasalahan besar yang menimpa Rosa kepada keduanya pasti butuh banyak tenaga dan emosi. Dan Rosa baru saja melakukannya. Tidak ada lagi yang disembunyikan karena Rosa sungguh membutuhkan tempat bercerita.

Indri dan Olif hanya menghela napas pasrah. Menjadi Rosa pasti tidak mudah. Saat di mana mereka mengetahui keseluruhan cerita gadis itu membuat semua terang bagi keduanya. Tentang Rosa yang langsung menunjukkan ketidaksukaan kepada Ren saat lelaki itu pertama kali muncul, tentang Ren yang mengejar-ngejar Rosa tanpa tahu malu, dan tentang alasan orang tua Rosa menentang hubungan dengan Ren.

Rosa masih terdiam membelakangi keduanya saat terdengar ketukan pintu. Badannya terlalu lemah untuk sekadar membalikkan tubuh dan melihat siapa yang datang. Jadi ia bertahan dengan posisinya sedari tadi.

"Gue boleh masuk?"

Rosa menegang. Itu suara Ren. Benarkah lelaki itu datang ke sana hanya karena Olif tadi mengabari bahwa Rosa tidak mau makan? Itu sangat memalukan untuk dirinya.

"Boleh, Kak. Udah izin Ibu kos tadi."

Langkah-langkah itu terdengar menapak jelas. Rosa, dengan segala usahanya, berniat membalikkan tubuh saat seseorang sudah tertangkap matanya. Berjongkok di lantai tepat di hadapannya.

Adalah wajah yang memenuhi pikirannya seharian ini. Seseorang yang sedang menatap penuh kekhawatiran. Kedua alis tebal Ren hampir menyatu saat mengernyit, sedang bola mata itu menyorot lembut.

"Kamu sakit, Sayang," bisik Ren, teramat pelan hingga yakin hanya mereka berdua yang mendengar.

Rosa hanya memejam merasakan sentuhan lembut di dahinya.

"Udah lama sakitnya?" Kali ini Ren bertanya kepada dua orang yang sedang berdiri di tepi tempat tidur.

Indri mengangguk pelan. "Sejak pagi udah pucat banget waktu di rumah Abri. Demam kayaknya, Kak. Tapi Rosa nggak mau minum obat. Belum sarapan juga."

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang