Bab VII : Kami menemukannya!

52 18 3
                                    


"Ini kasusmu!"

Rita terhenyak. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun ia dibentak oleh Pak Kepala.

"Kau tidak bisa berhenti sekarang!" tambah Pak Kepala.

"Saya tidak bisa menyelidiki kasus ini tanpa bukti," protes Rita.

"Kedua bukti yang kau punya ada di dalam ruang interogasi. Mereka berdua ada di TKP."

"Kita tidak bisa mengurung mereka."

"Juga tidak bisa membebaskan mereka!"

Rita naik pitam, ia berdiri di hadapan Pak Kepala dan memandang dua buah matanya yang perlahan kehilangan cahayanya.

"Jika ini kasus saya, Anda atau siapapun tidak bisa menghalangi putusan saya," katanya menunjuk tepat di depan hidung Pak Kepala.

Pak Kepala hanya menghela nafas melihat bawahannya yang tidak bisa mengontrol diri. "Kau bisa dipecat, Rita!"

"Saya akan bebas, bukan?"

Rita menarik tangannya kembali lalu meninggalkan ruangan Pak Kepala tanpa permisi.

"Tidak pernah bisa diatur, ya." Rian mengejek partnernya itu ketika masuk ruangannya sambil bersungut-sungut.

"Kita bergerak sendiri," putus Rita, ia menggeser beberapa bingkai foto dari atas meja yang dijadikannya sebagai kursi.

"Kita bisa diberhentikan, Sayang," goda Rian, "Hei! Itu tehku."

Rita memandang cangkir kertas yang ujungnya hampir menyentuh bibirnya. Ia menghirup aroma teh bercampur jeruk nifis itu dalam-dalam. Tidak banyak membantu menghilangkan kegundahannya, tapi cukup ampuh mengatasi rasa dinginnya.

"Tidak lagi," katanya menghabiskan isi cangkir dalam dua tegukan dalam lalu melemparkan cangkirnya ke keranjang sampah.

Rian melirik beberapa tetes teh yang jatuh di atas mejanya. "Aku... akan melupakannya."

"Mengingatnya pun tidak masalah bagiku," cemooh Rita.

"Baiklah, kau tidak bisa tenang sekarang ini?"

"Bagaimana caranya? Aku akan tetap pada rencana awal."

Rian melihat partnernya itu seakan mencari celah untuk menggagalkan rencana yang akan membuatnya pensiun dini.

"Kau lebih mengerti dari pada aku sendiri," katanya selembut mungkin.

"Mereka satu-satunya petunjuk yang kita punya. Ini kasus pembunuhan besar, Rita!"

"Atau kasus bunuh diri," seloroh Rita yang seketika membuat kedua rahang Rian terbuka. "Mereka percaya kasus ini bunuh diri," tambahnya.

"Kau sendiri yang melihatnya, kan? Kau ada di TKP mencari semua jejak, bahkan kursi yang digumamkan terus menerus oleh salah satu pelapor," bantah Rian mencoba untuk tidak terdengar mengejek.

'Mereka' yang dimaksud Rita adalah rekan-rekan sejawatnya yang lain. Tidak satupun yang percaya kasus ini lebih dari sekedar bunuh diri. Termasuk salah satunya adalah Rian beberapa jam yang lalu.

"Haris Wijaya," kata Rian menarik salah satu foto dari dua foto pelapor di atas meja Rian, "Menurutmu dia waras?" selidiknya.

"Kau yang menginterogasi mereka," jawab Rian dengan malas karena lelah menghadali pola pikir rekannya itu.

Rita berputar membelakangi Rian, tangannya kembali meletakkan foto Haris lalu diam beberapa saat. Ia berusaha mengingat detail informasi yang mungkin dilewatkannya.

"Three King Cross," kata Rian memecah kesunyian, "Aku tidak percaya kau memasukkannya juga."

"Bisa saja itu penting."

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang