Bab IX : Pembunuh?

68 13 11
                                    


Klik!

Haris menarik lepas kunci cadangannya lalu sambil berjinjit pelan melewati ruang depan menuju dapur. Tadinya ia tak ingin pulang, tapi perutnya tidak bisa berkompromi dengan tuannya. Lebih-lebih Haris meninggalkan dompetnya di kost karena buru-buru ingin menemui Dayat.

"Nak ?"

Jantung Haris seperti copot rasanya melihat sosok yang dikenalnya sedang duduk dibelakang meja makan.

"Eh, iya bu ?" Haris menarik sudut bibirnya untuk menyembunyikan wajah lelah miliknya.

Ibu kost tampak sudah menunggunya dari tadi.
Haris menduganya dari senampan nasi dan lauk-pauk lengkap diatas meja, yang mungkin bila Haris pulang lebih cepat beberapa jam semua makanan itu akan dijumpainya masih mengeluarkan asap.

"Kenapa hanyar bulik ?" tanya Ibu kost, mata beliau mengeluarkan bulir-bulir yang membuat Haris terenyuh.

"Ulun..." Haris menunduk lebih dalam.

Ibu kost berdiri, beliau menarik sebuah kursi untuk Haris. "Sudah, nanti saja ceritanya" Kata beliau seperti memahami apa yang dirasakan Haris. "Maaf sudah dingin."

Haris menautkan tangannya kedepan sambil berjalan kearah kursi, dan mendudukinya.

Perutnya sudah meronta minta diisi, tapi Haris sungkan menyentuh makanan di depannya.
Ia tetap menunduk untuk menghindari kontak mata dengan Ibu kost.

"Dimakan, Nak!"

Tak ada respon Haris akan menyentuh hidangannya.

Ibu kost bergerak cepat. Beliau mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan sayur. Sementara piring-piring berisi lauk hanya disodorkan kedekat Haris.

Haris menarik piring yang disodorkan beliau. Meskipun ia berusaha menguatkan dirinya, tetap saja tangannya gemetaran ketika mengangkat sendoknya.

"Polisi menelpon Ibu pagi tadi," Kata Ibu kost.

Haris bersyukur belum menyuapkan nasi kedalam mulutnya, karena ia yakin pasti tersedak mendengarnya.

"Hanya masalah kecil," Haris menyuapkan nasinya lalu tersenyum.

"Kecil seperti apa?" tanya beliau.

Haris memberanikan diri menatap beliau dan baru menyadari bahwa wajah Ibu kost yang terbungkus khimar hitam tampak lebih pucat dihadapan Haris.

"Salah tangkap," Haris berbohong, meskipun dalam hatinya menduga Ibu kost sudah tahu perkara masalahnya.

"Seperti pembunuhan?"

Haris tersedak. Ia lekas berdiri dari kursinya, meraih gelas kecil dari atas meja, dan mengisinya penuh dengan air putih.

Saat akan meminum airnya, tanpa sengaja gelas berisi air itu terlepas dari pegangannya, dan jatuh menghantam lantai.

"Ma--Maaf," kata Haris gugup

Ibu kost mendekati Haris, memberinya tatapan khawatir seperti seorang ibu pada anaknya. Haris tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi beliau. Ia hanya menurut ketika Ibu kost menuntunnya kembali ke kursi, lalu memberinya air minum dari gelas yang lain.

"Jangan takut," bujuk Ibu kost, "Ceritakan saja."

Benar aku harus menceritakannya, batin Haris.

"Dua teman saya tewas," Haris memulai, ia menangkap mata Ibu kost membesar beberapa saat, lalu ia melanjutkan, "Kami bermain sesuatu seperti sebuah ritual--beberapa waktu yang lalu. Saya yang membujuk mereka"

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang