Bab III : Ritual

51 19 0
                                    


Kriiingg!! Kriiingg!!

Alarm berbunyi membangunkan seisi ruang tamu, Haris menguap lalu melirik ponselnya, matanya menyipit melihat angka 03.30 AM dilayarnya yang gelap.

"Tiga menit untuk menyalakan lilin," katanya dengan nada lirih karena menahan kantuk.

Ruang tamu itu tidak terlalu gelap karena Rudi sudah menyalakan lilinnya lebih dulu. Ia duduk bersandar pada sofa mengawasi Ajay yang masih menggeliat. Haris berdehem, ia melihat Ayu masih membungkus lututnya dengan selimut dari kulit beruang imitasi.

Ia menyalakan lilinnya. Bergerak lebih dulu meninggalkan yang lain sementara Linda mengekor di belakangnya. Linda yang akan menjaga di luar untuknya. Haris mendengar suara teman-temannya yang mengucapkan bermacam kalimat seperti; "Kalian serius?", "Aku takut!", "Mau bagaimana lagi?", "Aku punya firasat buruk soal ini.", dan masih banyak lagi. Tapi tidak satupun dari suara itu terdengar suara milik Rudi. Ia mengingat Rudi lebih banyak diam setelah persiapan tadi malam.

"Aku tunggu di sini," Kata Linda, berhenti di tengah koridor yang gelap. "Terlalu bahaya bermain sendiri."

Haris tahu yang dimaksud Linda adalah Rudi. Seharusnya memang tidak ada yang bermain sendiri tanpa penjagaan di luar, tapi bukannya korban sebelumnya juga ada yang bermain sendiri? Tujuh pembunuhan pertama dan tujuh pembunuhan sebulan yang lalu, hanya berselang satu bulan, dan mereka bermain juga setelah satu bulan kasus pembunuhan Jalil-korban terakhir.

Tidak ada yang salah.

Kau hanya mencoba memberi bukti pada mereka.

Atau kau mencoba menjadi orang yang diinginkan Seven?

Haris menggoyang kepalanya untuk menghilangkan pikiran anehnya. Ia meninggalkan Linda lalu berbelok masuk ke dalam kamar yang lebih gelap. Suara kipas angin menyambutnya, seperti mengatakan selamat datang untuknya. Semua sama seperti saat ia meninggalkan ruangan itu.

Ia menekuk telapak tangan kanannya, menjaga lilin tetap dari tiupan kipas angin, kemudian ia duduk pada kursi 'tahta' yang ada di antara dua kursi lainnya.

Jika ritual berjalan lancar, ia akan duduk di kamar itu sampai jam 04.30 AM.

"Satu jam,"gumamnya, mengeluarkan mouse dan ponsel dari saku celana denimnya.

Meskipun hanya duduk diam sambil menjaga lilin dan matanya agar tidak menegok cermin, tetap saja ia merinding sendirian di kamar itu. Pikirannya merambah pada hal-hal horor yang pernah dibacanya. Kadang ia seperti menangkap bayangan bergerak di dinding kamar, mengawasinya diam-diam.

Sialan!

Menurut mitos-atau kenyataan, selama melakukan ritual dalam permainan Three King Cross, diwajibkan untuk tidak melirik ke arah cermin. Lalu, pemain diperbolehkan bertanya sesuatu, dan jika ada yang menjawab dari arah salah satu cermin artinya sang 'ratu' dan 'pembantu' sudah duduk di kursi tempat cermin bersandar.

Haris menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya dan menguatkan hatinya.

"Siapa pembunuhnya?" Pertanyaan konyol macam apa ini? Kau memaksa mereka bermain untuk membuktikan bahwa pembunuhnya bukan yang mereka percayai, dan sekarang kau ragu dengan keputusanmu?

Haris menunggu... tidak ada suara apapun selain gemuruh kipas angin.

Ia mulai berkeringat meskipun kamar itu dingin karena kipas angin yang menyala semalaman. Jantungnya berdetak satu tingkat setiap satu menit mengerikan yang dilaluinya di kamar itu.

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang