Bab I : Seven

103 21 9
                                    


Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Satu bulan kemudian

"Ris, makan dulu hanyar tulak!" seru Ibu kos dari lantai bawah.

Haris menggeliat di depan komputernya, "Inggih, Bu."

Tapi ia belum beranjak dari tempatnya, Haris lebih tertarik dengan kiriman email yang berisi foto-foto empat belas korban 'pembunuhan', lengkap dengan biodata dan hasil interogasi dengan kerabat korban.

Beberapa foto yang sudah ia print sendiri, berhamburan di atas mejanya. Haris melirik foto salah satu korban terbaru, meraihnya lalu menatapnya lekat-lekat.

"Jalil Arsyad," gumamnya.

Dari bidodatanya Jalil adalah seorang mahasiswa dengan prestasi akademik yang luar biasa sekaligus merupakan korban terakhir. Mengandalkan informasi yang didapatnya dari orang yang menamakan dirinya Seven, Haris tahu, Jalil ditemukan dalam keadaan sudah tewas dengan linggis yang menembus jantungnya. Persis dengan foto yang diperolehnya.

Haris pernah menanyakan bagaimana cara Seven mendapatkan semuanya, ia bahkan mengatakan terang-terangan bahwa Seven bisa jadi si pelaku. Namun, Seven mengelak, ia mengirimkan email berisi informasi langsung dari kepolisian yang menjelaskan Jalil tewas malam itu juga, sementara foto yang diterima Haris memperlihatkan seorang laki-laki dengan setengah badan di dalam peti mati yang hampir tenggelam oleh air berwarna merah, bertumpu dengan mayat dan linggis yang tertancap di badannya. Foto itu diambil ketika hari terang, mungkin siang? Dari ujung atas fato itu, Haris melihat banyak kaki-kaki warga yang datang menengok.

Dulu Haris tidak tertarik dengan kasus 'pembunuhan' yang ditayangkan diberita malam selama dua minggu lamanya. Semuanya berubah ketika Seven mulai mengirimkan email padanya, email yang bisa membuatnya bergumam: pantas saja pelakunya belum ditemukan, pelaku sama sekali tidak meninggalkan jejak selain mayat saat itu.

Haris semakin tertarik saat membaca email berisi daftar interogasi. Salah satu daftar mengatakan salah seorang kerabat Alam-salah satu korban-pernah bercerita jika malapetaka yang menimpanya saat itu dimulai dari sebuah permainan.

"Nak?"

Pikiran Haris yang sudah melanglang benua seketika buyar. Segera diletakkannya foto Jalil lalu memutar tubuhnya menghadap pintu yang terbuka, dan memperlihatkan seorang wanita berusia sekitar lima puluhan memakai mukena. Haris tahu kebiasaan beliau dipagi hari adalah shalat Dhuha.

"Beapa masih di sini?" tanya Ibu kos.

Haris menggeser badannya agar menutupi layar komputernya, "Ulun masih ada gawian,"jawabnya tersenyum,"setumat lagi turun."

Ibu kos itu mengangguk kemudian pergi, langkah terdengar menghentak-hentak di atas lantai kayu. Apa mau dikata? Haris tahu beliau tidak suka jika Haris menolak dipanggil untuk sarapan, karena ia satu-satunya penghuni rumah ini selain Ibu kos. Suami beliau meninggal beberapa bulan yang lalu, dan anak-anaknya, beliau punya dua orang puteri yang sudah menikah, keduanya mengikuti suami mereka.

Haris sendiri bertemu dengan beliau ketika baru tiba di kota ini untuk melanjutkan pendidikan disalah satu Universitas. Saat itu ia mencari tempat tinggal murah selama menempuh pendidikan, dan keberuntungan menyertainya. Ibu kos yang waktu itu bersama suaminya, mempersilahkannya tinggal di lantai atas bekas kamar salah satu puterinya.

"Rumah kami sunyi banar," kata beliau saat itu,"Haris bayar semampunya haja."

Awalnya Haris menolak, ia curiga beliau ada maksud lain. Tapi, melihat kesungguhan yang menyiratkan mata seorang ibu berhasil membuat Haris tinggal di rumah ini.

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang