Bab VI : Bayangan

68 19 7
                                    

    Cklak!

    Dayat membuka satu-satunya jendela di kamarnya. Awan hitam yang tebal menutupi langit malam ini, hanya tampak dikejauhan seperti sebuah sorot mata makhluk asing yang menembus gelapnya malam dari sebuah rumah. Sudah belasan kali ia bergelut dengan kasurnya, tapi matanya-dan pikirannya- tetap menolak membawanya ke dalam tidur yang menenangkan.

     "Hoaaammm!"

     Ia menguap dan merasakan aroma rumput basah yang menusuk paru-parunya. Malam yang disertai hujan menambah lengkap rasa suram malam ini. Entah hanya perasaannya atau kabar dari Ajay beberapa jam lalu yang membuatnya segelisah ini.

      Kriieeeett...

     Dayat berpaling, satu tangannya menarik kacamata agar lebih rapat di atas hidungnya. Dilihatnya pintu bercat putih di kamarnya.

      Hmmmm?

     Apa ia baru saja mendengar suara pintu dibuka?

     Dari tempatnya, ia sulit memastikan pintu kamarnya di buka seseorang atau tidak, karena kamarnya hanya diterangi satu lampu pijar beberapa watt tergantung di sebuah kayu besi yang melintang di langit-langit tanpa platform itu.

     Mau tidak mau, Dayat tidak bisa menyalahkan lampu itu. Ia tidak bisa tidur tanpa penerangan akibat rasa takutnya yang berlebihan-ia mengakuinya, dan masalah dimulai ketika kakak laki-lakinya harus tinggal dalam satu kamar bersamanya. Bertolakan dengannya, kakaknya itu justru tidak bisa tidur dalam ruangan terang. Setelah perdebatan panjang disertai tatapan tajam ayahnya, mereka sepakat mengganti lampu LED dengan lampu pijar kuning itu.

     Dayat melangkah pelan ke arah pintu, melewati karpet berbulu yang menutupi lantai kayu di bawahnya, dan mengernyit saat mendapati pintu itu terbuka sedikit seperti sebuah celah.

     Sambil menunduk, Dayat mengintip keluar dari celah pintu. Ruangan di luar kamarnya itu adalah dapur sederhana yang sama-sama menggunakan lampu pijar. Tidak ada siapapun di dalam dapur, semua benda masih tersusun pada tempatnya, kecuali tumpukan piring kotor yang pada wastafel.

     Kakaknya kah?

     Tapi kakak laki-lakinya itu tidak di rumah. Tidak malam ini dan malam-malam berikutnya selama sebulan. Kakaknya itu sedang PKL di luar Banjarmasin dan Dayat sudah memastikan orang menjengkelkan itu benar-benar pergi bersama dengan ayahnya.

     Apa ayah pulang malam ini dan mengintip ke dalam kamarnya?

     Secepat ini?

     Dayat membuka pintu lebar-lebar, menutupnya kembali, lalu menyelinap ke dalam dapur. Ia melangkah sehati-hati mungkin ke arah korden bermotif rangkaian bunga merah muda yang menutupi ruang depan. Disingkapkannya korden itu dan...

     "HAAA!" serunya ingin mengagetkan siapapun yang masuk ke rumah.

     Namun, tidak ada suara orang terkejut dari kamar ayahnya di samping kanan. Tidak ada seseorang yang muncul dari balik sofa kulit ataupun dari deretan almari tua yang bersandar di dinding.

     Ruang depan itu tidak terlalu gelap meski lampunya mati. Cahaya terang dari lampu teras terpapar pada tirai tipis yang menutupi tiga buah kaca di depan.

     Meski begitu, mengapa ia tetap merasa was-was? Mengapa ia tetap gelisah?
    
     Dayat mendengus, merasa kesal pada dirinya sendiri karena sifatnya yang penakut. Mungkin saja ia lupa mengunci pintu kamarnya, dan entah bagaimana pintu itu terbuka sedikit.

     Merasa haus, ia menutup kembali korden itu lalu membuka kulkas dan mengeluh karena hanya menemukan tumpukan sayur serta tiga kaleng pilsener milik kakaknya.

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang