BAB X : Lelap

44 13 11
                                    


Sunyi, gelap dan dingin.

Hanya itu yang dirasakan Ayu ketika melongok keluar dari jendela kaca kamarnya. Sesekali kesunyian malam ini pecah oleh suara-suara mobil dan motor yang melintasi aspal basah di depan Coffe Shop nya.

Ayu mengeluh karena menderita insomnia setelah kembali dari rumah Ajay 'hidup-hidup'. Kenikmatan tidur sulit sekali didapatnya semenjak itu. Ia mendesain kamarnya tertutup dengan gorden-gorden hijau zamrud yang menutup tiap celah cahaya dari luar, juga mengganti lampu led di kamarnya dengan lilin-lilin yang ia tempatkan di atas trisula di atas kabinetnya, bersebelahan dengan lampu tidur ber aksen renda serta bunga-bunga berwarna tosca.

Semua sudah dilakukannya sesuai anjuran Doktornya, tapi tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan Ayu.

Ayu melihat kubangan air di jalan, gelap dan bercahaya dibeberapa bagian karena sorotan lampu-lampu jalan. Ia menarik selimutnya melingkari tubuh untuk menghindari hawa dingin.

Mase dan Linda mungkin sudah terlelap setelah menghadapi hari yang melelahkan. Memaksa Haris yang tetap memilih bungkam juga menambah tekanan darah di kepalanya. Ia tidak ingin memihak Haris atau Ajay pada kenyataannya, tetapi Harislah yang ingin melindungi dirinya sendiri.

Besok—janjinya—Ayu akan memastikan Haris menceritakan semuanya, tidak ada lagi rahasia yang harus disembunyikan. Jika Haris tetap bungkam, maka ia sendiri yang akan membukanya. Haris tidak akan bisa berkutik bila didesak oleh teman-temannya. Takhayul atau bukan, ia harus membuat Haris mengakui bahwa Seven tetaplah 'orang' yang membujuk Haris melakukan ritual permainan itu. Kami—bahkan aku mengikutinya? Tentu, seolah Haris adalah kacung bagi Seven.

Ayu memperbaiki posisi duduknya, menarik kursi rotan lebih dekat ke jendela kaca agar ia lebih bebas melihat keluar. Tidak ada yang menarik perhatiannya malam ini.

Awan mendung yang gelap telah menghalangi taburan indah bintang malam ini, seakan belum cukup menambah suramnya malam. Bulan bahkan enggan memperlihatkan dirinya pada Ayu meski hanya sebuah sabit bercahaya di gelapnya angkasa.

Ayu memejamkan mata berharap rasa kantuk itu akan datang dan menariknya menjaih dari suasana yang tidak menyenangkan ini. Namun tidak lama kemudian, ia membuka matanya yang sakit karena terlalu lama terpejam paksa dan rasa kantuk yang dirindukannya belum juga tiba.

Suasana malam ini membuatnya seakan menyesali semuanya. Termasuk ia menyesal lebih memilih Coffe Shop ini daripada melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas. Dengan keadaan ekonomi keluarganya, ia tinggal mengatakan dimana pun ia ingin melanjutkan study nya, dan ia mengecualikan pulau Jawa karena kasus pembunuhan berantai yang beberapa waktu lalu heboh di media. Psikopat gila yang beranggapan dirinya adalah Tuhan, bebas memegang kendali kehidupan mangsanya menurut anggapannya sendiri, memburu orang-orang yang diinginkannya. Setidaknya itu dulu, saat ini pelakunya sudah mendekam di balik jeruji.

Lelah menggerutu, Ayu memutuskan untuk berbaring di atas kasurnya yang empuk. Ketika berdiri matanya menangkap seseorang yang sedang berdiri di bawah papan reklame rokok. Meskipun orang itu berlindung dalam bayang-bayang kegelapan, Ayu masih bisa memastikan orang itu adalah laki-laki yang mengenakan hoodie, sedang mengawasinya dan mungkin sudah melihatnya balik mengawasi orang itu.

Orang itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Jika saja Ayu tidak mengenal tiap petak tempat itu, ia bisa mengira orang itu sebuah patung yang diletakkan di pinggir jalan. Ayu mengindahkannya, melanjutkan langkah kakinya menuju kasur yang menantinya.

Ayu menggelontor obat tidurnya lalu menutup setengah tubuhnya dengan selimut tebal, merasakan alunan lembut Waiting For The Moment oleh Ronald Sim mengalir lembut ke dalam gendang telinganya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang