Bab VIII : Keraguan

92 17 10
                                    


Hari ini ia akan bertemu Rudi dan menghadapi sikap pongahnya lagi. Tidak masalah, Haris memutuskan untuk meminta maaf karena selama ini Rudi tampak tidak suka dengannya.

Yah...

Itu yang diperkirakan Haris, sebelum melihat tubuh Rudi terbaring kaku di tengah kerumunan melingkar keluarganya. Haris tidak mengira akan disambut tubuh yang tertutup kain hingga leher, ia juga melihat kain putih melingkar dari dagu hingga atas kepalanya, menutup kedua rahang itu untuk selamanya.

"Ditemukan dini hari tadi," bisik Linda.

Haris menghiraukannya, ia terlalu lemah untuk menerima apa yang tersaji di depannya.

"Kata orang-orang dia mabuk hingga terjatuh ke sungai Martapura," tambah Linda, mengawasi Haris yang tetap diam. "Kudengar... Dayat--"

"Ya, dia juga." Haris mengusap wajahnya yang lelah. "Apa ini semua berawal dari permainan itu?"

Mata Linda melebar mendengar
pertanyaan Haris. "Kau mengaitkan mereka dengan kematian empat belas orang itu?" balasnya.

"Apa ini semua karena salahku memaksa kalian bermain?"

"Hanya kebetulan kau ada di tempat kejadian ketika Dayat--kau tahu sendiri," jawab Linda, terdengar ragu di telinga Haris. "Tidak satupun dari kita yang bersama Rudi di malam ia hilang, juga bukan salah satu dari kita yang menemukannya tersangkut kayu dini hari tadi."

"Aku menemukan kursi yang kita pakai bermain di dekat mayat Dayat." Haris menyandarkan punggung pada lemari kayu berukir di dekatnya. "Katakan padaku, Dayat atau siapapun membawa kursi itu, kan?"

"Kursi?" tanya Linda, mengingat kejadian di rumah Ajay. "Kursi berat itu? Mustahil Dayat membawanya sendiri."

Ekspresi penyangkalan terpahat jelas di wajah Linda. Haris hanya membunyikan lehernya yang tidak sakit, dan menarik nafas beberapa kali untuk mengilangkan rasa kantuk yang memburu.

"Hei, apa yang kau perbuat?" seru seseorang dari kerumunan.

Haris menyangga tubuhnya ke depan,
mencari celah di antara dua ibu-ibu yang berdiri lebih dulu, dan melihat seorang laki-laki berpakaian rapi menarik kain yang menutupi leher Rudi. Laki-laki itu memeriksanya sebentar, sementara di atas kepalanya berdiri ayah Rudi, tampak marah dan siap menerjang laki-laki itu.

"Maaf," kata laki-laki itu, menarik benda hitam kecil yang bergerak-gerak dari leher Rudi lalu mengembalikan kain penutupnya. "Aku melihat kumbang ini," tambahnya mengantongi benda kecil tadi lalu kembali ke dalam barisan kerumunan.

Ayah Rudi kembali duduk di samping istrinya yang terisak-isak, wajah muramnya menunjukkan rasa sabar yang besar di depan jenazah putranya. Orang-orang yang tadi berdiri, juga telah kembali duduk dengan ekspresi prihatin pada dua pasangan suami-istri di depan mereka.

"Aku rasa kau perlu ceritakan ini pada yang lain," kata Linda tiba-tiba.

Kedua alis Haris bertautan. "Mengatakan pada yang lain sama saja dengan aku mengakui mereka tewas karena RITUAL permainan itu," katanya, menekan suara.

"Kau tidak bisa menyembunyikan Seven terus-menerus dari mereka."

"AKU TIDAK MENYEMBUNYIKANNYA!" Haris membantah, ia naik pitam, dan mata orang- orang langsung tertuju padanya.

Suara tangis dan bising-bising dari orang-orang di sekitarnya menghilang seketika, membuat Haris menunduk menyembunyikan wajah.

"Maaf," katanya, berdiri lalu meninggalkan ruang depan yang terasa panas sekarang.

Haris menerobos kerumunan warga di pintu masuk. Sebagian besar dari mereka masih menatap tajam Haris, dan beberapa diantaranya menghujatnya. Ia tidak menggubris seorangpun, tidak ada yang sengaja ia ingat wajahnya juga perkataannya, rasa bersalah yang menggerogotinya lebih mengerikan dari pada orang-orang itu.

Who's Next?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang