Bab 19

57 17 36
                                        

Ubah warna background WP-mu ke warna hitam

Happy Reading^^

______

Merenggangkan tangan ke atas, Edward sudah tak ingat berapa lama terkurung di balik tembok besi. Bagaimana Evelyn saat ini? Berhasilkah atau malah ketahuan? Edward menggeleng, tertawa pelan lantas mengeluarkan jepitan rambut yang ia sembunyikan di dalam sepatu.

Melepaskan hiasan pita pada jepitannya hingga tinggal menyisakan bagian jepitan tipis sebesar lidi berwarna hitam. Edward kembali menarik ujung bibirnya membentuk garis lengkung, entah perasaannya saja atau memang para budak hukum di tempat ini begitu bodoh? Jika dirinya menjadi salah satu dari mereka, yang jelas benda apa pun akan ia jauhkan dari para tersangka.

Ia mendekat jepitan rambut milik putrinya. "Benarkan, Sayang? Bahkan mereka tak tahu apa yang kita perbuat sekarang." Berucap pada kekosongan. Ia segera memasangkannya di bagian bawah rambut yang sudah memanjang, merapikan sedikit agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Pintu terbuka, kali ini bukan Joe atau anak muda yang sering mengekor di belakang polisi itu. Pasti sekarang Joe tengah bercengkerama di rumah Edward bersama dengan Evelyn dan Bella. Jika boleh jujur, ia agak cemburu, mengetahui ada pria lain bersama dengan dua perempuan miliknya.

Lalu, malam ini Evelyn harusnya sudah bergerak. Satu pelajaran untuk para orang tua, jangan menganggap remeh seorang anak. Edward mengelus singkat surai hitamnya, berteriak pasrah, toh, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjemput Bella, serta Evelyn di rumah Nyonya Lee atau Panti asuhan.

Edward berdecih, ia hafal sekali bau apa yang sekarang membelai indra penciumannya. Melipat jari jempol dan kelingking, menggunakan jari yang tersisa untuk menghitung mundur. Tiga ... dua ... satu ... voala! Tepat sekali bukan? Lelaki yang baru saja datang, benar sesuai prediksi ayah satu anak itu.

Pria tua yang berjalan dengan mengangkat dagu arogan, sangat khas di mata Edward. Sebelah tangan ia masukan ke saku celana, satu lagi sibuk memutar-mutar kayu seukuran telunjuk yang berbau wangi. Meringis sejenak, lantas mengedikkan bahu jijik setelah melihat Edward dari atas sampai bawah.

"Kau kalah, Jeffere," desisnya, "sudah aku bilang bukan? Kau akan tamat setelah menolak kembali." Pria tua berjanggut putih itu menarik kursi, duduk, kemudian menempatkan kayu manis di telapak tangan Edward, lalu tersenyum mengejek.

Tergelitik hati ingin menyembur muka keriput pucat dengan tawa menghina. Namun, Edward tahan nafsu tersebut, menarik napas dalam guna menjaga adrenalin agar tidak meninggi saat itu juga, sekaligus meredakan debaran jantung yang bersemangat seiring gairah masa muda itu kembali.

Meremas kuat kayu manis di tangan, melempar asal ke arah lawan bicaranya. "Persetan, Pak Tua. Aku akan menang"

"Benar-benar anak ini. Padahal ketika kutemukan hanya anak anjing kelaparan, mengais-ngais kotoran mencari makan, meringkuk kedinginan di tempat sampah. Lihat sekarang?" Lelaki itu berdiri mengangkat tangan, berputar sekali, lalu menggebrak kuat meja. "Berani menantang majikannya!" Suasana menegang, berikut urat-urat di balik kulit tua itu. Merapatkan bibir kuat-kuat hingga terlihat seperti garis lurus.

"Banyak budak-budak yang siap mati demi Tuan Lovanko ini, tetapi kenapa Tuan begitu marah hanya kehilangan satu bidak catur?" Edward memandang lekat muka Levanko yang memerah padam, kontras dengan kulitnya yang pucat. "Ah, apa jangan-jangan Tuan Lovanko yang sangat hebat ini tidak berdaya kehilangan seekor anjing menyedihkannya itu? Lucu sekali."

Levanko benar-benar dibakar api kemarahan, ia bersiul sekali, kemudian dua orang berpakaian polisi lengkap dengan pistol di tangan masuk. Menodong kepala Edward dengan moncong senjata api dari arah belakang.

BloodLine (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang