26. Siapa?

64 4 0
                                    

"Assalamu'alaikum, bunda!"

"Maapin Aluna ya bunda, tadi sipat jelek Aluna muncul lagi,"

"Aluna ga suka sama mereka, bunda. Mereka jahat. Mereka ngasih Bi Sari aja makanan sisa, Aluna sakit hati, mereka ga sopan."

"Andai saja bunda masih ada, Aluna ga akan ngalamin punya mama tiri,"

"Bunda bahagia ya disana. Aluna sayang banget sama bunda."

Aluna tersenyum getir memandang batu nisan di hadapannya. Batu nisan yang bertuliskan nama seseorang yang berharga di dalam hidupnya. Melia Sarasvati--bunda Aluna.

"Bunda, Aluna pamit dulu ya. Aluna kesini cuma kangen sama bunda, kapan-kapan Aluna datang lagi ya," ucapnya seraya mengusap nisan di depannya.

"Gamau pulang Koko! Ga mau! Yumna mau sama Mama!"

Saat Aluna berdiri dari jongkoknya ia mendengar pekikan perempuan tak jauh darinya. Ia memutarkan badan mencari arah asal suara. Ia terpaku pada gadis yang meronta-ronta didekapan seseorang. Aluna sangat kenal siapa orang yang sedang mendekap gadis itu. Aluna pun berniat menghampiri mereka.

"Mama! Yumna mau sama Mama!"

"Permisi!"

Mereka mengalihkan atensinya ke arah Aluna. Membuat Aluna terkejut serta kebingungan, bagaimana tidak? Dua lelaki di depannya ini mempunyai wajah yang sama, membuat Aluna sulit untuk sekedar membedakan.

"Lo yang waktu itu, 'kan?" tanya laki-laki berwajah Chinnese yang sedang mendekap gadis yang sedari tadi berteriak histeris.

"Koko! Mama! Yumna mau sama Mama!" jerit pilu gadis yang kini meronta didekapan laki-laki berwajah Chinnese itu.

"Sadar, Dek. Mama udah ngga ada,"

"Boleh gue ngomong berdua sama dia?" tanya Aluna meminta persetujuan.

Mereka mengangguk serempak yang ditanggapi senyuman tipis oleh Aluna.

Aluna berjongkok di samping gadis cantik yang berwajah Chinnese itu, sepertinya mereka bertiga satu keluarga. Karena berwajah Chinnese semua.

"Kenapa?" tanya Aluna.

"Mama pergi karena kanker ganas," jelasnya dengan suara bergetar menahan tangis, seakan tahu pertanyaan Aluna yang ambigu.

Aluna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lo buat mama lo sedih dengan begini."

Gadis itu mengalihkan atensinya kepada Aluna. "Maksud, Kakak?"

"Mama lo sedih liat lo nangis gini, liat lo ga mau pulang. Bukan cuma mama lo, tapi abang-abang lo juga. Mereka berusaha tenangin lo, berusaha biar lo ga sedih, yang bahkan mereka juga merasakan apa yang sekarang lo rasain. Lo paham kan sampe sini?" jelas Aluna.

Gadis itu langsung termenung. Memikirkan apa yang telah dia lakukan, perkataan Aluna memang simple dan sangat klise, tetapi dapat menyadarkan ia akan sesuatu. Memorinya berputar-putar secara acak seperti kaset rusak.

Dek, koko ambilin air anget ya biar sakit perut kamu reda.

Kamu ga boleh jatuh lagi, koko sedih.

Kamu tau ga kenapa koko jomblo terus? Karena koko mau bahagiain mama sama ade dulu. Koko mau fokus sama kalian.

Siapa yang nyakitin kamu, nanti koko pukul orang itu sampai berlutut di depan kamu.

Mama baik-baik aja, Dek. Kamu tenang ya!

Dek, jangan nangis! Tiap liat kamu nangis, hati koko sakit.

"Koko?" gumamnya, bulir air mata jatuh di pipinya semakin deras.

Gadis itu beranjak berdiri lalu berlari dengan tergesa. Aluna mengikutinya seraya memasukkan tangannya kedalam saku. Ia melihat gadis itu berpelukan dengan kedua kakak kembarnya itu.

"Makasih ya," ucap salah satu dari kedua kaka gadis itu.

Aluna mengangguk masih dengan wajah flat-nya.

"Eh iya kenalin, ini kembaran gue. Sekha." Cowok yang mengucapkan terima kasih itu ternyata adalah Sakha yang menabraknya di koridor.

Cowok Chinnese yang bernama Sekha itu mengulurkan tangannya. "Huang Sekha Alarik."

"Aluna." Aluna menerima uluran tangan itu. Sumpah mereka sangat mirip sekali, Aluna sampai tak bisa membedakannya.

"Aku Huang Yumna Alarik." Gadis itu mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Aluna.

***

Aluna memasuki rumahnya yang terlihat sangat sepi, gelap dan tidak terkunci. Tentu saja, karena sekarang sudah tengah malam, pasti orang rumah sudah pada tidur. Tapi kenapa rumah tidak terkunci? Aluna perlahan memasuki rumah tanpa menimbulkan suara.

"Mmmphh!"

Aluna menajamkan pendengarannya. Setelah itu, terdengar suara sepatu pentopel menuju ke arahnya. Aluna menempelkan tubuhnya ke lemari kaca yang ada di dekatnya.

Bugh!

Aluna menendang kaki orang bertopeng dengan setelan serba hitam itu dengan keras. Sebelum ia kembali mengarahkan tinjuannya pun, orang yang Aluna tak tahu identitasnya itu pun langsung berlari dengan sangat cepat seraya terpincang-pincang.

Aluna menyalakan saklar lampu lalu berjalan menuju dapur. Matanya membulat.

"Ale? Bibi?" paniknya

Terlihat Alena dan Bi Sari yang terduduk dengan tangan terikat dan mulut ditutupi lakban.

"Kalian ga papa, kan?" tanya Aluna cemas.

"Kita ga apa-apa, Non. Kita cek barang berharga dulu aja, takut ada yang ilang," ujar Bi Sari.

"Tapi tadi orang itu ga bawa apa-apa, Bi. Tadi udah Luna tendang kakinya, dia malah kabur," jawab Aluna.

"Kalo dia ga nyuri, terus ngapain?" tanya Alena yang terlihat bingung.

"Mereka berdua pada kemana?" tanya Aluna ketus.

"Maksudnya Nyonya sama Non Ara? Kalo mereka katanya mau nginep di rumah kerabatnya," jawab Bi Sari.

"Yaudahlah sekarang tidur aja, mungkin maling tadi lagi gabut aja. Bi tolong kunci semua pintu ya!" pinta Aluna.

Bi Sari pun mengangguk. Mereka berlalu dari dapur.

Aluna dan Alena pun pergi menuju kamar, tetapi saat Aluna membuka knop pintu kamarnya alangkah terkejutnya mereka.

"Shit! Apa yang dia ingingkan sebenarnya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang