18. The Dawn (3)

580 67 58
                                    

2012

MARK POV
__________

Yoo berdecak, "Ayolah, manis. Jangan mempersulit. Aku tak suka ada pertumpahan darah di rumahku."

Sekali lagi aku merutuki diri. Yoo samasekali bukan jenis orang yang tak punya jejak kekejaman di wajahnya. Tampilan luarnya jelas-jelas berandalan keji. Wajah tampan dibalut aura iblis. Dan aku terlalu dungu untuk berpikir dia tak akan menjadikanku santapan.

"Ayolah, Mark, serahkan tasmu."

Aku menatap pintu yang masih terkunci, berpikir untuk menyambar gagangnya sementara Yoo dan semua senjatanya berada tepat di hadapanku.

"Serahkan saja, Mark. Kau masih ingin bertemu Jackson-mu, kan?"

Bajingan.

Aku mundur perlahan. Pandanganku terkunci pada kedua tangan Yoo dan serenceng kunci yang mencuat dari saku celananya.

Pisauku masih kupegang erat-erat. Situasi yang tak pernah kubayangkan, Salah satu teman baikku siap membunuhku. Dan aku tak akan keberatan untuk juga menghabisinya.

Berayun ke arah pintu, tanganku merampas kunci dari kantung Yoo, mendorongnya hingga semua senjatanya jatuh berdenting ke lantai. Kumasukkan kuncinya ke lubang pintu secepat yang kubisa. Kunci manapun. Buru-buru. Ada puluhan kunci dan aku benar-benar tak punya waktu karena Yoo langsung menarikku kasar sehingga kuncinya jatuh menimbulkan suara ribut di lantai.

Aku terengah, masih mencoba menerobos. Yoo kembali mendorongku. Membuat punggungku membentur dinding dan kepalan tangannya menghantam wajahku. Keras.

Kupikir kepalaku nyaris meledak.  Pandanganku kabur sesaat dan kepala belakangku basah. Aroma darah mulai menguar, mengalir sampai ke tengkukku. Rasanya kebas. Tasku masih kupegang erat-erat seolah nyawaku berada di dalamnya. Aku tak boleh mati sekarang.

Aku melihat Yoo dari kelopak mataku yang berat, melihatnya mengukir senyum pahit di wajah iblisnya. "Aku membutuhkan uang ini, Mark." katanya, menghentakkan tasku.

Membuatku kehilangan tas dan rasa kebas di kepalaku berubah jadi nyeri hebat. Yoo masih di sana, tersenyum jenaka dengan mata berbinar seperti saat pertama kami berjumpa. Temanku yang brengsek.

Dia mulai membuka zipper tasku, memasukkan jari-jari kotornya untuk mengeluarkan uangku, menghitung. "Satu, dua, ya ampun ini banyak sekali, Mark! Kau habis merampok Bank?"

Brengsek. Itu uangku. Kakiku yang gemetaran susah payah menopang berat badanku. Aku benar-benar tak boleh mati sekarang. Aku harus selamat dan pulang pada Jackson.

Karena itu, dengan seluruh sisa tenagaku, aku menghambur ke arah Yoo. Satu tanganku mencengkram bahunya sementara satunya lagi mengarahkan pisau ke lehernya. Ini jelas pertarungan hidup dan mati. Dibunuh atau membunuh, dan aku siap untuk keduanya.

Ujung pisauku telah menyentuh kulit leher Yoo, darahnya mulai merembes. Goresan tipis yang kurencanakan jadi luka lebar menganga. Yang langsung pupus saat tenagaku habis dan Yoo dengan keras menendang kakiku, membuatku oleng hingga pisaunya terlempar ke sudut ruangan sementara aku jatuh tersungkur, tepat di depan linggis.

Aku bersungguh-sungguh saat kubilang ingin hidup seperti Yoo. Menjadi liar dan culas. Kuraih linggisnya, berdiri di atas kaki-kakiku yang gemetaran dan membayangkan tanganku mengayunkan linggis untuk memecahkan kepalanya. Aku siap. Toh, dia sedang kewalahan karena darah yang terus merembes dari lehernya.

Namun, aku tertatih-tatih begitu lamban hingga saat aku menengadah, Yoo sudah berada di pintu, berhasil memutar kunci dan keluar sambil mendekap tasku. Hanya meninggalkan jejak darah segar yang berceceran di lantai.

LET'S NOT FALL IN LOVE | MARKSON JJP GOT7  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang