24

1.2K 121 54
                                    

'Bukankah cinta yang sesungguhnya adalah melihat yang kita cintai bahagia dengan pilihannya?'

Kalimat yang pertama kali muncul dilayar ponsel Fajar ketika lelaki itu menggulirkan screen nya. Hari sudah malam, namun Jessica rupanya masih enggan untuk bertegur sapa dengan lelaki bernama Fajar itu.

"Minum dulu teh nya nak Fajar" ujar ibu Jessica yang membawakan segelas teh coklat bercampur teh celup yang masih belum diangkat dari dalam gelas.

"Iya Bu terimakasih" balas Fajar seraya meraih gelas diatas nampa yang dibawa ibu Jessica.

"Bu, apa boleh saya bertanya?" Lanjut fajar ketika wanita paruh baya itu hendak meninggalkan nya sendiri diteras rumah. Akhirnya ibu Jessica mengambil tempat duduk disebelah Fajar, di bangku yang tersedia di teras.

"Silahkan" jawab ibu Jessica lembut.

"Apa ibu merestui saya dengan Jessica hanya karena ibu tahu yang membantu biaya operasi Nana hari itu adalah saya?" Pertanyaan Fajar membuat jantung ibu Jessica berhenti bekerja seketika. Ia tidak tahu dan tidak habis pikir bahwa putri sulungnya itu akan merelakan kebahagiaan nya demi keluarganya.

Wanita itu menggeleng,

"I-ibu tidak tahu itu nak, yang Jessica katakan hanyalah kamu dan dia adalah pasangan yang pantas" maka Fajar yakin betul kalau gadis yang sedang berdiam diri dikamar itu hatinya tengah terluka lebih dari apapun, mendengar jawaban dari mulut ibunya sendiri.

"Apa Jessica pernah mengatakan dia mencintai saya Bu?" Maka dengan pertanyaan itu ibu Jessica lagi-lagi menggeleng. Tidak bisa dipungkiri, hati Fajar rasanya seakan diremat hingga tak berbentuk lagi.

Sakit luar biasa yang ia rasakan, dadanya sesak. Memang waktu itu dia mengirim pesan pada Jessica, dia ingin Jessica sebagai istri nya untuk pembayaran hutangnya. Namun, mengapa hatinya mendadak pilu?

Bukankah yang di inginkan hanya Jessica? Bukan dengan hatinya kan?

"Bu saya mau tanya lagi boleh?" Tanya Fajar yang kini mata sebening telaga itu telah menggenang air bening pula. Wanita paruh baya dihadapannya kembali mengangguk.

"Kalau ibu jadi Jessica, ibu akan memilih Jerome yang ibu cintai atau saya yang selalu membantu ibu dalam segala hal?" Maka tanpa berfikir ibu Jessica menjawab,

"Kamu" membuat Fajar mengerutkan keningnya.

"Kenapa Bu?"

"Karena keluarga aku berhak bahagia Jar, meskipun gue sebagai tumbalnya gue gapapa" celetuk Jessica yang tiba-tiba saja muncul, menghampiri ibu dan Fajar diteras. Lelaki itu dengan sigap berdiri.

"Ka-kamu dengar semuanya?"

"Jelas aku dengar, dan kamu nggak usah khawatir, aku bakalan belajar buat mencintai kamu" meskipun Jessica berucap demikian, tetapi hatinya benar-benar hancur.

Ia kesepian, Jerome yang sudah kembali ke Jakarta tadi pagi dan sekarang tidak memberitahu apapun padanya kabar. Membuat Jessica panik tetapi tidak terlalu ia tampakkan sebab ia tidak ingin ibunya khawatir padanya.

***

"Loh Jer? Jessica nya mana? Kok muka kamu kusut gitu kaya orang habis nangis, ya pah?!" Tanya Ibu Jerome, juga pada suaminya yang ikut menyambut kepulangan putra kedua mereka ke Jakarta.

Lelaki itu diam saja, tanpa bicara apapun dia berjalan begitu saja menuju kamarnya berada. Bukan tanpa alasan Jerome begini, tetapi ia benar-benar sangat mencintai gadis bernama Jessica itu hingga ia sepatah-hati ini.

"Mencintai yang paling tulus, adalah merelakannya bahagia dengan yang seharusnya jadi pasangannya" entah tahu darimana Ian keadaan adiknya itu, hingga mengeluarkan kata-kata yang benar-benar membuat Jerome terkekeh miris.

"Tapi aku tahu dia nggak akan pernah bahagia sama laki-laki itu kak"

"Jer, kalo emang kamu sesayang itu, maka minta dukungan followers kamu. Biar Jessica nya nggak menjauh lagi, yakinkan dia kalau banyak yang mendukung kalian" nasehat Ian pada Jerome, namun lelaki itu hanya terlihat berfikir.

"Kakak tahu, selama ini Jessica menghindar dari kamu bukan karena dia nggak sayang sama kamu. Kamu pasti udah tahu kalau Jessica juga sesayang itu sama kamu kan?" Tanya Ian lagi, yang dibalas dengan tatapan penuh arti dari Jerome, yang duduk disisi ranjang bersama Ian.

"Jessica itu menghindar karena kamu Jer, kamu yang buat dia ngehindar dari kamu"

"Maksud kakak?"

"Ini cuma feeling kakak aja, dia ngehindar dari kamu karena kamu tokoh penting di Indonesia bahkan sampe ke Jepang. Sedang lelaki itu hanya pengusaha biasa. Kamu Kharismatik, dan Jessica Katolik. Ok fine, agama bukanlah penghalang kalian, sebab hanya ajaran gereja yang berbeda. Tapi coba fikirkan gimana perasaan Jessica kalau kelak dia jadi sama kamu, banyak yang menghujat dia, masih mending cuma dia, gimana kalau sampe sama keluarga-keluarganya juga dihujat?!" Seketika Ian mengeluarkan semua uneg-uneg nya yang entah sejak kapan ia simpan. Namun, Jerome hanya bisa terdiam dan belum berniat membuka suara.

"Jer, kalau sayang itu diperjuangin ga cuma sebatas mendatangi rumahnya minta restu orangtuanya. Tapi juga, tunjukin ke publik kalau kamu udah ada yang punya dan jangan sesekali hujat dia, kalau itu terjadi kamu ga bakalan tinggal diam. Tinggal ngelakuin itu apa susahnya Jer?"

"Telat kak" jawaban Jerome yang membuat mulut Ian seketika membisu, tak mengerti dengan ucapan adiknya yang satu ini.

"Dia udah lamaran, bentar lagi nikah. Tinggal tunggu kapan undangannya datang" lanjut Jerome dengan pandangan matanya yang lurus ke depan, menatap kosong pada tembok dihadapannya. Maka Ian hanya diam membisu, tanpa tahu bagaimana jalan keluar yang tepat.

Jika sudah begini, apa jalan keluar yang pantas?


Next➡️

Jerome and JessicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang