Untuk Zein

64 4 0
                                    

Sejak pagi aku sudah di sibukan dengan keperluan Zein, mulai dari memandikan, memakaikan baju, hingga memberikannya susu formula untuknya. Sangat menyenangkan menjadi seorang ibu, walaupun Zein bukan terlahir dalam rahimku tapi aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri.

Kehadiran Zein mengajarkanku untuk selalu ikhlas dan menerima segala keadaan. Zein juga membuatku mencoba untuk menerimanya dan Bayuaji sang Ayah. Semua diawali dengan keterpaksaan namun, aku yakin aku bisa melewati segala rintangannya.

Begitupun dengan Meisya dan Alif mereka juga akan bahagia jika melihatku bahagia. Bukannya aku melupakan mereka namun, aku belajar mengikhlaskan kepergian mereka. Walaupun setiap harinya aku merindukan sosok mereka dihidupku, tapi hidup harus terus berjalan dan maju kedepan.

Dua bulan yang sangat berat bagiku, kehilangan dua sosok berarti dalam hidupku. Meisya adekku dan Alif Mahendra calon suamiku. Dua bulan yang membentukku menjadi wanita yang tangguh, dan kuat.

Sesekali aku diantar oleh Alina menuju pemakaman Alif dan Meisya yang berada dalam satu komplek. Ya, mungkin cara itu agar aku bisa melepas rindu kepada keduanya.

"Zein pinter banget ya. Susu nya cepet abis lo, hebat Zein." Pujiku sambil bermain dengan Zein.

Bayi mungil Zein membalasku dengan tertawa sambil memainkan mainan yang aku berikan padanya selepas ia mandi dan meminum susu formula. Sejak lahir Zein tidak pernah diberi susu asi, ia langsung di beri susu formula. Kasihan sekali ponakan aku ini.

"Maudya." Panggil seseorang yang berdiri di balik pintu kamarku.

Aku menoleh kearahnya."Masuk saja."

"Ada yang ingin saya bicarakan Maudya."Ujar Bayuaji dingin dan kaku.

Sejak menikah denganku, sikap dan perilaku Bayuaji amat sangat berubah. Ia menjadi dingin dan banyak diam, aku sendiri tidak mengerti mengapa ia seperti itu.

"Iya silahkan."

"Hari ini kita harus pindah kerumah yang sudah saya siapkan. Tinggal kamu mengemasi baju kamu dan Zein saja." Ujar Bayuaji kembali dingin.

Aku membulatkan mataku,"Secepat itu? Aku tidak siap, aku masih ingin tinggal berdama Ibu dan Ayahku, Bayu." Jelasku.

"Saya tidak memaksa, jika kamu tidak mau biar saya dan Zein saja yang pindah dan kamu menetap di sini." Ketusnya yang membuatku tak bisa berkata apa-apa.

"Kamu jangan memberikan keputusan sepihak ya, kamu harusnya menanyakan itu terebih dahulu kepadaku." Sahutku kekeuh ingin menetap dirumah orang tuaku.

Bayuaji beranjak dari kamarku dan pergi begitu saja. Aku rasa ia tidak ingin berdebat denganku, ya sudahlah aku akan berusaha bertahan dan hidup dirumah orang tuaku.

"Ka ada apa?"

Ibu berjalan masuk kekamar, menoleh kearahku dengan sikap bingungnya. Sepertinya ibu mendengar keributan kecil antaraku dan Bayuaji.

"Bayu ingin kami pindah bu. Tapi aku tidak mau," Ujarku dengan wajah tak senang.

"Loh kenapa? Kaliankan sudah menikah, menurut ibu itu bagus ka." Sahut ibu yang membuatku semakin kesal. Pasalnya ibu membela keinginan Bayuaji dari pada keinginanku.

Aku menggelengkan kepala, berusaha menolaknya."Tidak ibu, aku tidak mau pindah. Toh rumah ini besar masih cukup untuk kami."

Ibu menarik tangan kananku dan tangan kirinya mengelus pundakku halus."Bukan seperti itu nak. Keputusan Bayuaji sangatlah baik, ia ingin istri dan anaknya tinggal bersama membangun keluarga yang Nak Bayu inginkan."

"Tapi bu, aku...."

"Tidak ada tapi-tapian. Ibu rasa ini yang terbaik ka. Sudah saatnya kamu bahagia dengan keluargamu. Ibu akan membantu mempersiapkan semuanya ya." Ucap Ibu penuh semangat.

Ya, mau tidak mau aku harus menuruti jika Ibu yang memintanya. Bagaimana aku bisa menolaknya, Ibu selalu punya cara agar aku berfikir untuk mengiyakannya.

Bayuaji dan Ayah sedang asik bermainan catur ditemani segelas kopi dan sepiring kue diatasnya. Aku dibantu oleh Ibu menuruni anak tangga perlahan membawa Zein dan koper baju kami. Kulihat Bayuaji begitu menikmati harinya bersama ayah, berbeda saat sedang bersamaku. Dingin dan kaku yang sering membuatku tak nyaman.

"Sudah siap." Ketusku kearah Bayuaji.

Ayah menoleh kearahku dan berjalan memdekatiku dan Zein yang tertidur dalam hipseat newborn yang aku gunakan.

"Hati-hati disana ya ka, jaga nak Bayu dan Zein juga. Sering-sering mampir ke sini ya." Ujar Ayah, aku menjabat tangan ayah.

"Aku pasti akan merindukan ayah." Senduku, begitu berat meninggalkan rumah yang selama ini aku tinggali bertahun-tahun sejak aku kecil. Semua kenangan ada didalam rumah orang tuaku ini, namun aku tahu kini aku sudah berumah tangga yang tidak pernah aku inginkan. Setidaknya demi Zein dan Untuk Zein aku mengalah.

Bayuaji membantu ibu membawakan koperku dan beberapa peralatan dan kebutuhan Zein lainnya memasukannya kedalam mobil. Aku berjalan dibelakangnya dan masuk kedalam mobil, duduk disamping Bayuaji.

Selama perjalanan, aku hanya bisa diam dengan raut wajah kesal. Bayuaji si manusia dingin itu hanya terpokus dalam kemudinya, dasar manusia tidak peka. Bisa-bisanya dalam satu mobil tidak ada perbincangan sama sekali, seperti kuburan berjalan saja.

Tak perlu menunggu lama, akhirnya aku, Bayuaji dan Zein sampai dirumah yang kami tuju. Bayuaji menuruni barang-barang dan aku menunggunya.

"Selamat datang nyonya." Sapa wanita paruh baya yang berdiri diambang pintu.

Aku membalasnya dengan sedikit senyuman."Terima kasih."

"Silahkan masuk nyonya, saya antar menuju kamar nyonya dan aden kecil." Ajak wanita paruh baya tersebut, aku pun berjalan mengikutinya dan meninggalkan Bayuaji yang sibuk menurunkan barang-barang.

Aku diarahkan menuju kamar  bernuasa cokelat elegan. Kamar yang sangat indah yang dihiasi oleh beberapa furniture elegan dan sedikit sentuhan minimalis.

Aku memindahkan Zein yang berada didekapanku keatas tempat tidur king size dengan perlahan agar Zein tetap nyaman dan tidak merasa terganggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku memindahkan Zein yang berada didekapanku keatas tempat tidur king size dengan perlahan agar Zein tetap nyaman dan tidak merasa terganggu.

"Nyonya bisa memanggil saja jika membutuhkan sesuatu ya. Saya Bi Ian assisten rumah tangga keluarga besar Pak Hermanda." Ujar wanita paruh baya itu, yang ternyata adalah seorang assisten rumah tangga Bayuaji.

Aku menoleh kearahnya."Terima kasih bi. Tapi tolong jangan panggil aku dengan sebutan nyonya, panggil saja bu Maudya atau panggil nama saya saja." Jelasku, aku sedikit risih jika diperlakukan bak seorang ratu, aku hanya wanita biasa dan sederhana pada umumnya.

"Iya bu, maaf jika saya membuat ibu tidak nyaman. Saya permisi bu." Ujar Bi Ian yang beranjak meninggalkanku dan Zein.

Aku membaringkan tubuhku disamping Zein sambil mengusap halus Zein perlahan, sedikit memberikan kenyamanan agar Zein merasa nyaman dan hangat.

Maudya (Mencari Cinta & Kebahagiaan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang