Sebelas: Potret

192 20 5
                                    

Halo readers... Karena Rufah lagi ultah jadi part ini Rufah up sekalian...

Seneng nggak seneng nggak ? Seneng dong..  Seneng aja udah..

Langsung aja ya, jangan lupa tinggalkan jejak 🐾🐾🐾 dan komen sebanyak-banyaknya.

Part ini di sponsori oleh:
Sometime, somewhere - Sung Si Kyung (Ost. The Legend of the Blue Sea)

Udah makan belom?

☕Happy reading☕

🔭🔭🔭

Untuk sesaat mata Zara tak lepas dari bunga pemberian Gavin. Laki-laki juga mengatakan maknanya pada Zara. Lily putih sebagai kesucian, kemurnian, simpatik, dan kehidupan yang baru. Sedangkan hydrangea merah muda sebagai cinta dan pernikahan. Namun tanpa Gavin sadari, sebenarnya hydrangea merupakan simbol dari sebuah penyesalan. Zara tau pasti arti berbagai macam bunga. Mamanya sangat suka berkebun dan menanam bunga. Itulah sebabnya di taman samping rumahnya penuh dengan tanaman bunga, begitu juga seluruh vas yang ada di seluruh penjuru rumahnya. Sebab itulah mamanya selalu mengajarkan arti dan makna dari bunga-bunga yang ia temui. Tak jarang bahkan mamanya menceritakan tentang filosofi di balik bunga itu.

Zara juga tau dengan pasti bahwa arti hydrangea itu apa. Sebab dulu ia pun pernah mendapat kiriman bunga yang sama dari Sam. Laki-laki itu menyesal sebab pernah menyakiti Zara. Dan untuk menebus rasa bersalahnya, ia mengirimkan seratus buket bunga hydrangea ke kantor dimana Zara bekerja. Bahkan saking banyaknya, pihak rumah sakit sampai membagikannya pada seluruh pasien tiap hari.

Zara sendiri belum tau Gavin menyesal karena apa. Mungkin juga Gavin tulus menginginkan pernikahan dengannya. Mungkin juga dirinya saja yang terlalu melankolis, sensitif, berlebihan, atau apalah. Namun rasa itu membuat Zara sedikit resah. Entahlah, Zara hanya merasa seakan-akan Gavin menyembunyikan sesuatu darinya. Pernah disakiti oleh laki-laki hingga hancur, membuat ia begitu sensitif tehadap hal-hal disekitarnya. Apalagi jika itu menyangkut hati dan perasaan.

“Ngelamunin apa, hm?”

Sebuah tangan yang menyusup ke pinggangnya membuat ia tersentak dari lamunannya, disusul suara lembut dan ciuman di pipinya cukup membuat senyum berlesung pipi gadis itu timbul. Gavin sudah kembali dari kamar mandi.

“Kamu udah makan?” Zara bertanya, sengaja mengalihkan pembicaraan. Gadis itu beranjak mengambil kamera dari laci dan memotret vas berisi bunga dari Gavin.

“Belum lah, Za. Laper nih. Tadi niatnya kesini emang mau minta makan sih, tapi gampanglah nanti.” Jawab Gavin sembari mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan tempat ia duduk. Tadi ia belum sempat memperhatikan.

Ternyata atap ruangan itu terbuat dari kaca tembus pandang, hingga Gavin bisa melihat langit malam dari tempatnya kini duduk. Ada teleskop putih untuk melihat bintang yang diletakkan di depan bantal-bantal duduk tempat ia memperhatikan. Seluruh lantainya dilapisi karpet putih bersih yang tebal dan mengeluarkan aroma segar saat tersentuh atau terinjak. Semacam aroma petrichor, pinus, dan kayu-kayuan. Aroma ini mengingatkan dia akan hutan pinus yang baru diterpa hujan, menenangkan dan segar di penciuman.

“Dasar.” Jawab Zara. Gadis itu tengah menjepit hasil foto polaroid-nya dengan penjepit kayu ke tali tambang yang membentang di seluruh dinding di ruangan itu. Gavin cukup takjub melihatnya.

“Kamu tuh punya porsi makan raksasa ya? Waktu di Sushi Tei kamu makan banyak banget.”

“Iya. Latihan fisik sedari SMP bikin nafsu makan aku jadi mudah naik. Porsinya juga jadi nambah tiga kali lipat. Apalagi kalo lagi banyak pikiran, pasti larinya ke makanan.” Jawab Gavin jujur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Doctor and The ArmyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang