“Senja itu Aku, dan Jingga adalah Kamu. Kita adalah seseorang saling membutuhkan”
-Ajun-
“Ajun” teriak bunda,
“Ajun” teriaknya lagi,
Bunda menepuk pundakku, aku menoleh padanya,“jangan lupa bawa earphone” seraya menyodorkan earphone berwarna merah milikku.
“siap Boss” seringai ku.
bunda tau aku harus selalu membawa earphone, walaupun aku tak bisa mendengar, setidaknya jika aku memakai benda ini takkan ada yang menyangka bahwa aku tuli. Alasan utama lagi mengapa aku tak pernah sudi jika ada yang mengetahui kurangku, aku tak ingin di kasihani. Aku tak suka ada yang menunjukkan mimik muka prihatin hanya karena aku memiliki kekurangan. Itu sangat menjengkelkan.
Hari ini adalah jadwal ku mengikuti sanggar lukis, aku terbiasa hadir seminggu empat kali di sana. Dan lagi setiap melukis aku selalu memakai earphone agar teman satu sanggar tak ada yang memanggilku dari arah belakang. Itu adalah kelemahan terbesarku. Aku takkan pernah bisa mengetahui itu.
Pak Dibyo pelatih lukis di sanggar ini, menyuruh kami melukis sesuai tema yang beliau pinta.
“Tema lukisan kalian adalah “senja” silahkan melukis” serunya,
Aku termangu sejenak, “Jingga” gumamku, gadis itu terlintas di otakku. Kurasa aku akan melukisnya. Siluet gadis di tepi pantai dengan senja yang menjingga bukankah ide bagus?
30 menit waktu berlalu begitu cepat, semua lukisan telah selesai di garap. Satu persatu menyebutkan judul dari lukisan mereka. Tersisa aku sendiri yang belum maju.
“Ajun... apa nama lukisanmu ini?”tanya Pak Dibyo,
“Jingga pak.”sahutku,
“Jingga anak sekolah sebrang yah” celetuk Leon jahil,
Aku hanya tersenyum, Leon sudah terkenal jahil semenjak dia masuk ke sanggar ini 2 bulan lalu, dan apesnya aku selalu menjadi biang kejahilannya.
“mengapa menamakan Jingga”tanya Pak Dibyo lagi,
“Senja identik dengan warnanya, dan jingga selalu bersatu dengan pantai.”jawabku singkat,
Pak Dibyo mengerti,
“Ajun nilaimu A”tutup pak Dibyo, dalam perjumpaan kali ini.
Urusan lukisan aku perlu berbangga, semenjak aku masuk sanggar ini setahunan yang lalu, nilaiku selalu teratas diantara yang lain. Belum lagi aku sibuk home schooling, ku rasa tahun ini aku harus masuk sekolah normal. Aku ingin mengikuti ujian nasional bersama yang lain. Aku harus membicarakannya dengan Bunda sehabis ini
***
“bun, bulan depan sudah kenaikan kelas”ucapanku menggema di ruangan dapur.
Bunda menoleh,berhenti mencincang daging dalam genggamannya”kenapa sayang? Sudah siap kembali ke sekolah normal?” tanya Bunda tepat sasaran,
Aku menggangguk. Bunda tersenyum.
“anak bunda sekarang sudah berani membuka diri ternyata”kagum bunda,
Aku hanya tersenyum pada bunda, sejujurnya aku masih takut tapi aku ingin kembali ke rutinitas normal teman seumuranku,
“ajun boleh kembali ke sekolah lagi, asal earphone harus selalu di pakai kala jam istirahat, maupun jam kosong, bagaimana Ajun setuju?” bunda memang suka bernegosiasi,
“tentu bunda”seru ku bersemangat,
setidaknya itu satu-satunya alat yang mampu menutupi kekuranganku. Walau tak selamanya aku mampu menutupi kurangku, tapi bukan sekarang aku harus mengaku bahwa aku tuli. Aku belum siap di kasihani.
***
Satu bulan kebelakang,
Aku selalu suka melukis di area depan sanggar, menghadap ke sekolah di seberang tempatku sekarang duduk.kali ini aku ingin menggambar sebuah sekolah dengan begitu banyak murid berlalu lalang di halamannya. Aku rindu bersekolah di sekolah umum, aku bosan Homeschooling.
Ada sebuah gurat wajah mendekat, mata safirnya menyala, gadis itu melongok melihat lukisanku, tepat bersisian denganku,
“lukisan yang indah”celetuknya,
dengan cengiran khas seorang gadis remaja kebanyakan,
Aku berjingkat “siapa kamu?” tanya ku retoris,
“kenalin aku jingga, aku bersekolah di sebrang sana”tunjukknya,
“aku ajun”jawabku datar,
“kamu bersekolah dimana?”tanya gadis berkuncir satu itu,
“aku homeschooling”jawabku tanpa peduli dengannya, aku kembali fokus pada lukisanku,
“kamu anak introvert yah, padahal kan seru masuk sekolahnormal”cerocosannya tak juga berhenti,
“beberapa bulan ke depan aku akan kembali ke sekolah normal”pernyataanku membuat mata safirnya kembali menyala,ah mengapa ada gadis dengan lensa berwarna safir? Apakah itu asli, atau hanya softlens? Memangnya sekolah sekarang memperbolehkan anak muridnya memakai softlens yah? Entahlah kegabutan macam apa ini, mengapa aku peduli dengan lensa matanya.
“benarkah? Semoga kita bisa bisa bertemu lagi yah? Seeyou next time” dia berpamitan,
***
Namanya Jingga, gadis berkuncir satu dengan lensa mata indah berwarna safir. Perkenalan di depan sanggar begitu membekas. Jingga datang mendekat dengan seragam sekolahnya, dilengkapi dengan tas punggung berwarna Navy, saat itu ku kira dia hanyalah gadis kebanyakan yang hanya peduli soal rupa dan mendekat karena sukaiku. Aku keliru, setelah aku bertanya dengan Leon yang kebetulan dia adalah adik kelas Jingga di sekolah tersebut. Dia berbeda, Jingga menjabat Ketua osis yang sebentar lagi akan turun jabatan karena akan fokus dengan Ujian Nasional. Kata Leon, Jingga adalah gadis yang peka terhadap lingkungan sekitarnya, dia selalu suka membantu. Sepertinya aku harus mengenalnya lebih dalam bukan begitu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Ajun & Jingga
Historical Fictionini kisah mengenai Ajun, si pemuda pandai yang kehilangan pendengarannya. ini juga kisah mengenai Jingga si Gadis bermata safir yang menjadi pelangi dalam hidup Ajun secara tiba-tiba. Ajun dan Jingga bertemu tanpa sengaja, Semesta ikut andil tuk pe...