Chapter 14.

55 9 0
                                    

Rida dan Leani sedang bersiap-siap di kamar masing-masing, Rida yang pertama keluar kamar dan tak lama kemudian Leani menyusul.

Bundanya Rida sudah menyiapkan semuanya, wanita itu menenteng totebag berisi syarat-syarat untuk mendaftar sekolah ke SMA Perjuangan Karya.

Ardi yang baru akan berangkat bekerja, menatap heran kepada dua perempuan berbeda usia itu yang nampak rapih.

"Mau kemana kalian?" tanya Ardi.

Mata Leani dan Rida saling pandang, berkomunikasi lewat tatapan mata. Mereka bingung harus memberitahukan bagaimana kepada Ardi.

Saat Leani hendak membuka suara, Rida menggelengkan kepala, ia mengkode agar Bundanya diam dan biarlah Rida yang bercerita tanpa kebohongan karena Rida yang ingin bersekolah.

Rida meminta restu untuk bersekolah kepada Ardi, meski ia sudah tahu jawabannya, tetapi Rida tetap meminta izin karena bagaimanapun Ardi itu Ayahnya.

"Ayah... Rida sama Bunda mau pergi ke sekolah, Rida mau daftar sekolah tahun ini...."

Mendengar tujuan mereka mau ke mana, Ardi menatap tajam manik mata Rida, sorotan mata elang Ardi menyiratkan kilatan kemarahan.

"AYAH SUDAH BILANG AYAH TIDAK AKAN MEMPERBOLEHKAN KAMU SEKOLAH RIDA!" teriak Ardi menggema di seluruh penjuru rumah ini.

Napas Ardi naik turun, ia tidak bisa lagi mengontrol emosinya yang mudah sekali mencuat.

Ardi merasa tidak ada satu orang pun yang mengertikannya, mengapa mereka kekeh dengan kemauan mereka masing-masing dan tidak menuruti perintahnya?

Leani dan Rida tersentak kaget, mereka sontak memundurkan langkah. Menundukkan kepala takut.

Tubuh Rida bergetar, isak tangisnya mulai terdengar. Ini yang Rida takutkan, kemarahan sang Ayah yang terlihat menyeramkan.

Mengapa untuk sekolah saja Rida tidak diperbolehkan?

Mengapa harus Rida yang mengalami kesulitan ini?

Mengapa Rida tidak seperti yang lain yang mendapat penuh dukungan orang tua?

Air mata Rida menetes deras dari sumbernya, ia mendongakkan kepala untuk menatap ayahnya yang masih nampak marah.

"A–ayah... Rida mohon izinkan Rida sekolah, Rida benar-benar ingin melanjutkan pendidikan Rida agar bisa mewujudkan impian Rida dan bisa membahagiakan Bunda sama Ayah...." Rida bersuara pelan dan serak, diiringi dengan air mata yang kembali terjun membasahi pipi.

"Kamu tau kan gimana perekonomian keluarga kami? Harusnya kamu mengerti Rida! Kamu jangan menambah beban!" Ardi berucap tanpa intonasi yang terlalu tinggi, namun terdapat tekanan di setiap katanya.

"Rida tidak menambah beban!" bantah Leani. "justru dia mau menjahit harkat derajat kita nanti. Dia harus sukses, dia harus sekolah!"

Kini tatapan tajam itu beralih ke manik cokelat gelap Leani. Mata itu, mata yang selalu memancarkan keteduhan, dan sekarang Ardi melihat ada luka di dalamnya.

"Kamu dukung putrimu?" Leani mengangguk. "Apa kamu punya uang hah? Biaya sekolah mahal!!"

"Kita bisa cicil, aku yakin kita bisa jika kita sama-sama berusaha," Leani membalas lembut setelah mengusap air matanya.

Ardi tertawa sumbang disela kemarahannya. "Kita? Kamu aja yang biayain."

"Kamu juga Ayahnya! Harusnya kamu mau membantu dan mendukung Rida!" Leani menatap suaminya tak percaya.

"Oh tidak. Silakan kamu yang bayar."

Leani hendak protes, ia sebenarnya sanggup-sanggup saja, tapi mengapa hatinya merasa sakit saat tahu kalau suaminya tidak mau membiayai sekolah untuk putrinya sendiri?

Varida [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang