"Harry! Harry! To-tolong jangan, argh!" Aku menjerit keras.
Ketika mataku terbuka, sontak aku mengangkat tubuhku untuk duduk. Dengan napas yang masih memburu, aku menyapu pandangan sekitar. Aku bersyukur, Harry tidak melakukan hal itu terhadapku. Aku hanya mimpi ternyata. Pun aku terkekeh pelan, mana mungkin Harry mau membunuh orang yang ia cintai.
Aku berjalan pelan ke luar ruangan. Merasa lapar, pun aku melangkahkan kakiku ke arah ruang makan dan menemukan sesosok wanita paruh baya sedang tersenyum ke arahku.
"Aku mendengar kau menjerit, lalu menyebutkan nama Harry. Apa kau mimpi buruk?" tanya Ibu sembari menaruh beberapa potong roti dan beberapa iris daging diatas piring.
Aku mengangguk pelan, "Ya, mungkin hanya mimpi buruk."
Dia hanya mengangguk-angguk kepalanya, lalu berjalan ke arah dapur. Dapat ku lihat dari ruang makan, ibu sedang memecahkan telur lalu mengaduknya dengan cepat dan memasukannya ke wajan. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan ia buat, ibu sering mencari resep-resep masakan. Dia sangat suka memasak, well berbeda denganku.
Tak lama, ibu kembali ke ruang makan dan membawa telur yang tadi ia masak kemudian menaruhnya diantara kedua iris roti, lalu ia memasukan satu irisan daging. "Tadi malam kau berbicara dengan siapa?"
Aku terkesiap, satu hal yang baru ku sadari disini adalah; saat aku bangun tadi Harry sudah tidak ada di kasur, atau pun di sekitaran kamarku. "Engghh - kurasa aku harus pergi ke kamar sebentar, bu. Kurasa aku belum menyisir rambutku, dan yeah - rambut yang berantakan ini bisa -"
Ibu menggeleng-geleng, "Tidak usah bertele-tele, Laura. Masuklah ke kamarmu lalu sisir rambutmu."
Aku hanya tersenyum kaku ke arah ibu, sedangkan ibu hanya memberi ekspresi 'ada-apa-denganmu-Laura?!'. Setelah membeku selama beberapa detik, aku langsung berlari kaku ke kamarku.
"Laura ada apa dengan tanganmu tadi?" Ibu berteriak dari ruang makan, namun aku tidak mengubris.
Aku menyapu pandangan sekitar, tidak ada Harry! Oh sialan, kemana dia?
Aku berlari ke jendela, dan hasilnya nihil. Aku tidak menemukan tanda-tanda Harry keluar dari ruanganku melewati jendelaku.
Mataku langsung terbelak ketika menemukan pisau yang pinggir-pinggirnya berselimutkan darah segar. Darahku seakan membeku seketika, kerongkonganku tercekak. Ba-bagaimana bisa pisau ini berada di kamarku?
Sontak, aku mengangkat tangan kananku.
"Jesus!" Aku menjerit pelan, mataku terbuka lebar ketika melihat bekas sayatan ditangan kananku. Oh tidak.
*