Aku menyunggingkan senyum ketika memasuki frat milik Harry. Dia berkata bahwa ia akan mengadakan pesta yang diadakan pada pukul tujuh malam dan berakhir pada jam sepuluh. Entahlah, aku mengira bahwa ia akan mengadakan pesta minum sampai malam mengingat ini adalah ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Namun ia hanya membuat pesta sampai pukul sepuluh saja.
Aku memang sengaja tidak datang di pesta itu, karena aku ingin memberikannya kejutan. Memang kejutan yang kumiliki tidaklah mahal atau meriah, namun aku berharap dia menyukainya. Aku membawa kue berukuran sedang dan beberapa foto kami yang ku jadikan satu di dalam satu bingkai.
Ketika aku membuka pintu kamar Harry, aku mendapati dirinya sedang bersenggama dengan Ava. Sahabatku sendiri. Dengan gerakan refleks, kue yang ku bawa terjatuh ke bawah.
"Bajingan kau, Styles." Aku menutup mulutku, "Kau memang jalang, Ava."
Aku melemparkan bingkai foto itu ke arah Harry, terdengar bunyi pecahan kaca yang cukup nyaring sehingga akhirnya Harry dan Ava menengok ke arahku, aku bahkan baru sadar jika mereka tidak mengetahui keberadaanku disini. Brengsek.
"Kita bubar, Styles!" aku menjerit, lalu pergi menuruni anak tangga dan kembali ke mobilku. Aku mengemudi dengan penuh emosi, untung saja ini sudah pukul sebelas malam, jadi jalanan sangat sepi.
Aku menengok ke kaca spion dan tidak mendapati mobil Harry sama sekali. Mana mungkin bajingan sialan itu mengejarku.
Aku menghentikan mobilku tepat di depan rel kereta api. Tempat ini adalah tempat yang paling sering ku kunjungi saat aku ada masalah. Aku mencari-cari pisau yang biasa kutaruh di dalam tasku, ketika aku menemukannya aku hanya memandang pisau itu.
Aku menggoreskan pisau itu di tanganku, semakin lama pisau itu semakin dalam menembus kulitku. Aku bahkan tidak merasakan rasa sakit sama sekali saat benda tajam itu menembus kulitku, aku merasakan ketenangan yang luar biasa ketika melihat darah segar mengalir dari tanganku. Darahnya berjatuhan, ini indah.
Setelah kurasa pisau itu sudah menembus cukup dalam, aku langsung menarik pisau itu keluar. Memperhatikan darah itu masih mengalir cukup banyak dari tanganku, aku merasa tenang dan damai.
Semua masalahku hilang seketika. Aku mengira bahwa Harry adalah sumber kebahagianku, ternyata dia tidak. Semua lelaki yang berada di muka bumi ini memang brengsek, mereka diciptakan untuk menjadi seorang bajingan yang hanya bisa mempermainkan wanita semaunya.
Masalahku berat, dan dia menambahnya dengan kenyataan bahwa ia bermain di belakangku.
Kurang merasa puas, aku kembali menggoreskan pisau itu ditanganku. Namun seseorang membuka pintu mobil sialan yang tidak ku kunci.
"Laura! Jangan lakukan itu!"
Seseorang yang suaranya benar-benar ku kenal berteriak, dengan gerakan refleks aku langsung menoleh ke arah orang tersebut. "Apa pedulimu, bajingan?"
Dia menggeleng, "Aku brengsek, aku bajingan. Kau benar, Laura." Dia menunduk ke bawah, melihat kedua kaki tempatnya berpijak. "Kau harus berhenti melakukan itu, aku - aku tahu aku sudah melukai hatimu. Karena - err - aku tahu kau memiliki banyak masalah dan aku hanya bisa menambah masalahmu, kau terluka karenaku. Aku tahu itu dan kumohon maafkan aku."
Aku tidak peduli dengan semua perkataannya, sama sekali tidak. Aku mengarahkan pisau, dan membiarkan tangan sebelah kananku mengiris perlahan pergelangan tanganku. Hal ini enak - bebanku menjadi berkurang.
"Laura, jangan!" Harry cepat-cepat mengambil pisau itu, namun sayang. Pisau itu malah menembus perutnya dan seketika darah segar keluar mencuat dari tubuhnya.
Dia roboh di tanah, aku hanya dapat menutup mulutku. Dia bahkan hanya mengenakan boxer, dimana urat malunya?
Aku melirik ke arah kiri dan kanan, tidak ada orang! Apa aku harus membawanya ke rumah sakit? Kurasa aku harus membawanya pergi ke rumah sakit, lantas aku turun dari mobilku dan mengambil pisau yang menancap di perutnya. Aku mengecek denyut nadinya, bahkan tidak ada denyutnya!
Aku mencari detak jantungnya dengan cara mendekatkan telingaku ke arah jantungnya. Sial, bahkan jantungnya tidak berdetak! Apa yang harus ku lakukan? Sial, sial, sial!
Persetan dengannya, aku tidak peduli dia sudah menyakiti hatiku dan aku harus membunuhnya. Untuk apa aku peduli dengan orang yang tidak peduli denganku? Dia hanyalah seorang bajingan yang tidak memiliki hati, jadi dia pantas untuk mendapatkan itu.
Lantas, aku meraih kedua tangannya lalu menyeretnya ke rel kereta api. Berhubung kereta api belum ada, aku harus bisa menaruhnya disini agar tidak ada seorang pun yang tahu bahwa aku yang menaruhnya disini.
Setelah sampai, aku langsung berlari ke dalam mobil dan mengambil pisau yang tadinya tertancap di perut Harry. Aku harus membakar barang bukti ini, kalau tidak aku bisa masuk penjara.
Aku mengarahkan mobilku ke jalan raya, lalu berhenti sebentar. Aku melihat Harry sedang berada disana, dia terbaring lemah bahkan tak bernyawa disana.
Dari kejauhan, kereta api melaju kencang dan tidak peduli ada orang yang sedang terbaring disana. Kereta api itu menerobos dengan laju dan menyisakan Harry dengan bagian kepala dan badan yang terpisah.
Aku hanya dapat menutup mulut. Aku sepenuhnya sadar dengan apa yang ku lakukan, tapi sial! Aku tidak berniat untuk melukainya, apalagi membiarkannya mati dengan cara sadis seperti itu.
Aku menggeleng, di detik selanjutnya aku melajukan mobilku untuk pulang ke rumah.
*
Next chapter masih di masa lalu hehe:3 soalnya ini panjang bgt buat ss:") kalo di jadikan satu takutnya bosen:(