"Sampai kapan aku akan berada di penjara terkutuk ini?" tanyaku kepada salah seorang perawat yang mengantarkanku ke kamar inap.
Dia mengangkat bahunya, "Entahlah, jika kau sudah memiliki banyak kemajuan, maka semakin cepat pula kau pulang." Aku meliriknya sembari mengangguk, dia tersenyum tipis mengekspos lesung pipinya. "Semangat!"
Aku nyaris tersentak kaget ketika mendengarnya menyemangatiku. "Sebenarnya aku ini kenapa? Apa besok aku akan menjalani tes seperti biasanya? Aku lelah dengan semua pertanyaan konyol itu, suster - err aku tidak tahu mau memanggilmu apa."
"Kau dapat memanggilku Harry."
Sontak, aku tergelak, Harry? Apa aku salah dengar? "Harry?"
Dia terkekeh, "Bukan Harry, Laura. Kau dapat memanggilku Kylie, kukira penyebutan nama Harry dengan Kylie sangat jauh."
"Oke, hai Kylie. Terimakasih mau merawatku."
"Sama-sama," Dia berkata sembari membungkus kenop pintu dengan telapak tangannya, lalu memutarnya pelan. "Ini kamarmu, tidak buruk, kan? Kau tahu ini rumah sakit jiwa - err Laura, masuk ke dalam rumah sakit jiwa bukan berarti kau gila. Mungkin jiwamu hanya sedikit terganggu. Dan kurasa ini sangat nyaman untuk pasien sepertimu."
Aku menyapu pandangan sekitar, benar katanya. Ruangan ini tidaklah buruk, dulu aku pernah masuk ke dalam rumah sakit jiwa sekitar sebulan yang lalu, dan ruangannya cukup buruk. Ternyata ibu memilih rumah sakit jiwa yang nyaman.
Rasanya, berada disini - aku merasa seperti orang gila yang harus dikurung di dalam ruangan rumah sakit jiwa. Padahal aku tidak gila.
Mungkin benar kata Kylie, aku kondisi mentalku hanya sedikit terganggu. Fuck! Tetapi mengapa aku harus tinggal disini? Apa kondisi kejiwaanku benar-benar terganggu?
"Laura, aku tahu apa yang membawamu kesini," katanya. "Kau harus ingat, semua yang kau lihat itu tidak nyata - bayangan tentang mantan kekasihmu di masa lalu itu tidaklah nyata. Jangan percaya dengan apa yang kau lihat tentangnya."
Aku melirik ke arah Kylie, dia tidak berhak berkata seperti itu! Harry bukanlah bagian dari halusinasiku, pun aku bergerak medekatinya. Jarak kami hanya satu sentimeter, aku membawa kedua tanganku untuk membungkus lehernya dan mencekiknya kuat. Dia meringis kesakitan, namun aku tidak peduli! Biar bagaimana juga, Harry masih ada, dan ia masih mencintaiku. Dia tidak tahu apa-apa tentang Harry.
Aku mencekiknya lebih kuat lagi, membawa tubuhnya ke arah lemari kaca. Aku melepaskan tanganku, terlihat ia dengan napas yang memburu. Aku tidak puas, dia harus mati saat ini juga.
Benda tajam, dimana?! Mengapa disini tidak ada benda tajam?! Sialan!
Aku kembali meraih tubuhnya yang lemah, kemudian mendorongnya kuat sehingga kaca lemari itu pecah. Dia terjatuh ke lantai, cairan berwarna merah kental mengalir dari belakang tubuhnya. Ubin lantai pun terkontaminasi warna merah akibat darahnya yang mengalir begitu deras.
"Laura! Jangan lakukan itu!"
Seseorang yang suaranya benar-benar ku kenal berteriak, dengan gerakan refleks aku langsung menoleh ke arah orang tersebut. "Apa pedulimu, bajingan?"
Dia menggeleng, "Aku brengsek, aku bajingan. Kau benar, Laura." Dia menunduk ke bawah, melihat kedua kaki tempatnya berpijak. "Kau harus berhenti melakukan itu, aku - aku tahu aku sudah melukai hatimu. Karena - err - aku tahu kau memiliki banyak masalah dan aku hanya bisa menambah masalahmu, kau terluka karenaku. Aku tahu itu dan kumohon maafkan aku."
Aku tidak peduli dengan semua perkataannya, sama sekali tidak. Aku mengarahkan pisau, dan membiarkan tangan sebelah kananku mengiris perlahan pergelangan tanganku. Hal ini enak - bebanku menjadi berkurang.
"Laura, jangan!" Harry cepat-cepat mengambil pisau itu, namun sayang. Pisau itu malah menembus perutnya dan seketika darah segar keluar mencuat dari tubuhnya.
Mengingat kejadian itu, tubuhku bergemetar hebat. Tidak, aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!
Membawa tanganku ke rambut, aku mengacaknya dengan kasar sembari berteriak histeris. "AKU BUKAN PEMBUNUH!" Aku berteriak dengan suaraku yang parau. Air mata mengalir deras keluar dari pelupuk mataku.
Aku terjatuh, bekas pecahan kaca itu menusuk kulit kakiku.
*
Gue gapunya ide buat nama suster itu.. jadinya ya gitulah