Aku terbangun.
Brengsek, mengapa aku harus terkurung di dalam tempat mengerikan yang di dalamnya penuh dengan orang sinting yang tidak memiliki otak? Terutama dua dokter konyol itu, memberikan pertanyaan-pertanyaan tolol, ini semua tidak boleh terjadi! Aku tidak gila, aku masih normal!
Aku mencoba menggerakan kakiku, sial, sial, sial! Bahkan kaki dan tanganku masih terikat! Mengapa aku harus mengikuti ibu untuk membawaku ke psikater dan pada kenyataannya dia membawaku ke dalam rumah sakit jiwa yang tolol ini.
"Laura?" Seseorang berkata, langkahan kaki juga terdengar di indra pendengaranku. Aku mengambil napas yang dalam, berusaha menenangkan pikiranku. Mungkin itu salah satu dari dokter-dokter tolol itu. Aku yakin dia adalah lelaki, suaranya begitu berat dan serak. Namun setelah menganalisis lagi, kedengarannya itu bukan suara dokter tolol - atau apalah itu namanya. Namun aku mengenal jelas suara ini milik siapa.
Dengan dada yang berdebar, pun aku menoleh ke tempat suara langkahan kaki itu berhenti. Rahangku terasa jatuh dari tempatnya, aku membelakan mataku tidak percaya.
"Kau harus ingat, semua yang kau lihat itu tidak nyata - bayangan tentang mantan kekasihmu di masa lalu itu tidaklah nyata. Jangan percaya dengan apa yang kau lihat tentangnya."
Ucapan Kylie masih terngiang di pikiranku. Aku tidak tahu mengapa aku mempercayai ucapannya, itu adalah hipotesa yang masuk akal. Mungkin bayangan Harry selalu muncul di dalam hadapanku karena aku - aku terlalu mencintainya.
Tanpa ku sadari, air mata berjatuhan dari pelupuk mataku.
Aku tahu, mungkin ini hanya bagian dari halusinasiku saja. Aku hanya terlalu sering berhalusinasi, mungkin ada lebih baiknya aku mengikuti perkataan Kylie dan hidup tenang tanpa ada cipratan bayangan-bayangan dari masa lalu. Aku harus bisa membuka lembaran baru dan mencintai Niall.
Harry hanya secuil dari masa laluku. Namun bodohnya, aku mencintainya - sangat teramat mencintainya.
"Laura," panggilnya lagi dengan suara seraknya itu.
Aku menggeleng, berusaha memejamkan mataku. Jangan percaya, jangan percaya! Saat aku kembali membuka mataku, aku kembali menemukan Harry sedang duduk di atas sofa.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, namun sama saja Harry palsu masih duduk di atas sofa itu dan mengangkat satu kakinya.
"Laura, ada apa denganmu? Tidakkah kau senang jika aku berada disini? Apa kau tidak ingin memberikan kecupan padaku?"
Aku ternganga ketika melihat kedua tangan dan kakiku terlepas dari tali itu.
Tidak ini hanya halusinasiku, "Aku tidak boleh percaya dengan apa pun yang ku lihat. Kau tidak nyata Harry."
"Aku nyata."
Aku menggeleng, "Tidak, tidak! Kau tidak nyata Harry! Kau tidak nyata! Kau sudah mati! Kau sudah mati!" Aku berteriak keras, menjambak rambutku frustasi. Lelah akan semua ini.
*