04.00 pm - Friday November 29th 2013

2.7K 528 32
                                    

"Laura?" seseorang memanggilku di ambang pintu sambil ia melangkahkan kakinya ke tempat tidur.

Ketika aku menoleh,  aku menemukan sosok Harry disana. "Harry?" gumamku pelan, bahkan hampir tidak terdengar di telingaku.

Aku langsung menutup mataku beberapa saat, ketika aku membuka mataku sosok Harry berubah menjadi sosok wanita yang memakai jas putih dan membawa nampan yang berisi jarum suntik dan beberapa obat. Aku hanya memperhatikannya mengambil sebotol cairan lalu memasukannya kedalam suntikan itu.

"Apa kabarmu? Omong-omong, ibumu dan kekasihmu sedang berada diluar."

Aku langsung terkejut mendengarnya, ternyata ibu masih merindukanku. "Lumayan baik. Apa mereka akan datang ke kamar ini?"

Dia mengangguk, "Ya." Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tanpa disertai oleh anggukan atau apa pun. Hanya sepercik kata itu saja. Dia mulai memasukan jarum suntik itu ke dalam uratku, aku mendesah pelan akibat jarum itu terasa sedikit sakit tetika menembus kulit. Kurasa cairan itu tidak banyak, jadi tidak sampai satu menit, ia sudah mengeluarkan jarum itu. "Kau sudah mengalami banyak kemajuan, kau belajar cepat rupanya. Ilusimu tentang bayangan mantan kekasihmu sudah tidak menghantuimu lagi. Tapi aku harus benar-benar memeriksamu lagi, karena ibumu bilang kau hampir mati karena ilusi itu kembali lagi."

Rasanya ada sesuatu yang menghantam dadaku, sehingga rasanya sangat nyeri. Kerongkonganku terasa seperti ada benjolan yang menghalangi pita suaraku untuk mengeluarkan suara, namun sedetik kemudian aku berkata; "Mereka akan ke kamar ini, bukan?"

Dia mengangguk, "Ya, tentu. Aku hanya harus memeriksa keadaanmu terlebih dahulu dan memberikanmu obat penenang." Obat penenang? Sejak kapan aku diberi suntikan obat penenang? "Aku lupa," dia mengambil satu pil itu lalu memberikannya padaku. Pil itu sudah tidak asing lagi di mataku, itu obat penghilang halusinasi.

Aku mengambilnya lalu mengambil segelas air putih, dan meminumnya.

Selang beberapa menit ketika dokter itu keluar, ibu dan Niall datang dengan senyuman di wajah mereka. Kedua sudut bibirku tertarik keatas, aku merindukan mereka. Aku bahkan baru sadar jika Niall memanglah kekasih baruku.

Ibu membawa tubuhnya ke arahku, kedua tangannya membungkus bahuku. Dia memelukku erat, sangat erat sehingga aku kesulitan untuk bernapas. Namun, aku membalas pelukannya sekuat yang aku bisa. Aku begitu merindukannya. Tak sampai satu menit, dia melepaskan pelukannya.

"Niall," panggilku.

Dia menoleh, lalu aku memeluknya. Aku memeluknya sangat erat, aku yakin aku sudah sembuh. Dia membalas pelukanku, kulitnya yang hangat dapat kurasakan. Kehangatan pelukannya terlalu nyaman untukku. Aku masih merasa bersalah karena selalu berbicara tentang Harry, bagaimana aku mencintai Harry, dan lainnya.

Aku hanya tidak percaya, bagaimana bisa Niall mau menjadi kekasihku ketika banyak sekali gadis-gadis seksi dan normal yang ingin bersamanya. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang gadis depresi yang di tinggal mati oleh mantan pacarnya.

Pelukan kami berakhir ketika Niall memberi jarak tubuhku dan dia, namun jarak kami masih sangat dekat. Dia menangkup wajahku, dahi kami bersentuhan. Dapat kurasakan hembusan napasnya, "Aku merindukan Laura yang seperti ini, bukan Laura si gadis depresi."

Terdengar ironis memang, namun aku hanya tertawa hambar. Aku menjauhkan wajahku darinya, lalu beralih ke ibu yang sedang duduk di tepi ranjang.

Ibu menyengir, "Kuharap kau benar-benar sembuh."

Aneh memang rasanya ketika semua orang di dekatku mengatakan 'kuharap kau benar-benar sembuh' mereka berkata-kata seperti aku memanglah seorang gadis gila yang baru sembuh dari kegilaannya atau memang sebaliknya.

*

[1]Illusion ➸ h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang