Chapter 2 : Kontras
Sakura menghampiri Mebuki yang sedari tadi memantau rumah mereka dari sudut jalan. Hari sudah hampir menunjukkan pukul 7 malam dan Sakura baru saja menyelesaikan makan malam dengan cup ramen di minimarket. Beberapa saat yang lalu Mebuki menelpon Sakura untuk menanyakan dimana keberadaannya saat ia tengah makan tadi."Kau menggangguku." ujar Sakura datar tapi membuat Mebuki sedikit terlonjak karena Sakura datang dari belakang.
"Kau ini bikin kaget saja!" bentak Mebuki dengan suara pelan. Anak satu-satunya itu hanya memutar mata bosan dan menatap Mebuki kesal.
"Harusnya kau menelponku saat rentenir-rentenir sialan itu sudah cabut dari sana."
"Kau pikir aku berani kerumah sendirian?" balas Mebuki mendelik. Sakura hanya mendecih pelan.
"Diamlah, Mebuki." ujar Sakura dingin. Mebuki hanya mengerutkan dahi dan kembali melanjutkan aktivitasnya tadi, memantau keadaan rumah mereka yang sedang dimasuki oleh beberapa orang berbadan besar dengan tampang sangar.
"Hei, pinjamkan aku pakaianmu. Aku kehujanan dan rasanya sekarang aku masuk angin." kata Mebuki tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari ujung sana. Tangannya terulur isyarat meminta pada Sakura.
"Apa peduliku." ucap Sakura dingin namun tangannya tetap menarik hoodie keluar dari tubuhnya menyisakan kaos polos tanpa lengan bewarna hitam. Dengan sekali gerakan, Sakura melempar hoodie itu ke tangan Mebuki. Mebuki menangkap hoodie Sakura dan segera memakainya. Hangat dan wangi Sakura menguar dari hoodie itu.
"Aaaah~ Nyamannya~" Mebuki memeluk dirinya sendiri untuk menambah kehangatan pada tubuhnya.
"Tak perlu mendesah, Mebuki." sindir Sakura sambil menyandarkan punggungnya ke tembok gang yang ada disampingnya. Tangannya terlipat didepan dada melampiaskan dingin kota yang masih terasa basah akibat hujan.
"Ck! Anak sialan."
"Anak sialan hasil dari orang tua sialan." balas Sakura enteng. Dahi Mebuki semakin berkedut. Sakura hanya menguap sebagai respon. Berdebat tidak jelas seperti ini hanya buang-buang tenaga meskipun mereka sering melakukannya.
Entahlah, dia benar-benar tak menyukai Mebuki. Berada disekitar jalang itu membuat rasa benci sejak 10 tahun lalu dihatinya bergejolak. Ingatkan dirinya untuk segera mencari pekerjaan besok agar dia bisa lari dari Mebuki si jalang ulung.
Suasana hening menemani ibu dan anak itu. Dingin malam membuat orang-orang dikota lebih memilih untuk tidak meninggalkan rumah. Hanya sedikit orang dan kendaraan yang berlalu lalang menambah kesan sepi disana. Mebuki tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari rumah mereka, sedangkan Sakura masih berkutat dengan pikirannya. Memikirkan pekerjaan-pekerjaan apa yang memungkinkan untuk dirinya.
Lebih dari setengah jam menunggu rentenir-rentenir itu benar-benar telah meninggalkan kediaman mereka. Mebuki berjalan pelan dan sedikit mengendap-endap, kepalanya bergerak sana sini untuk berjaga-jaga jika rentenir-rentenir itu masih berada disekitar rumah mereka.
"Kau sedang latihan jadi pencuri?" tanya Sakura yang lebih terdengar seperti sebuah sindiran. Mebuki tak menggubris ucapan Sakura dan meningkatkan pengawasannya.
Sakura memutar bola matanya dan mendecak kesal. "Kau terlihat bodoh." kata Sakura sambil berjalan mendahului Mebuki. Mebuki hanya mengumpat kesal didalam hati.
Lihatlah anak satu-satunya yang ia miliki. Tidak pernah memanggilnya 'Ibu', selalu berkata kasar padanya dan tidak memiliki sopan santun. Mebuki bahkan lupa kapan terakhir kali Sakura bersikap manis memanggilnya 'Ibu' dengan mata bulat yang berbinar dan senyum merekah.
Ah, lupakan saja. Mungkin karma ini memang untuknya. Mebuki tidak akan menuntut apa-apa. Hidupnya sudah buruk sejak dulu. Sakura yang lahir sebagai anaknya akan mendapatkan konsekuensi karena Ibunya adalah seorang pelacur. Nilai minusnya lagi adalah memiliki Ayah yang suka mabuk-mabukan dan berjudi hingga berhutang sana sini. Didikan seperti apa yang membuat Sakura tumbuh seperti ini adalah tanggung jawab Mebuki dan Kizashi sebagai orang tua. Dia tidak akan menuntut apa-apa. Dia tidak punya hak seperti itu pada Sakura.
Pemandangan yang pertama kali terlihat ketika Sakura dengan cueknya membuka pintu rumah mereka membuat Mebuki menarik napas. Astaga, siapa yang akan membereskan semua ini. Rumahnya telah kacau. Pecah, patah, robek, berantakan. Semuanya sangat sangat sangat tak beraturan.
"Sakura, hati-hati jangan sampai menginjak kaca!" Mebuki memperingati dengan nada khawatir setelah melihat Sakura dengan santai melengos masuk menuju kamarnya.
Mebuki hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak tunggalnya itu. Namun, sedetik kemudian Mebuki mendengus menahan tawanya. Melihat punggung Sakura dengan kaos tanpa lengan dan berjalan tanpa mempedulikan sekitar, 'Dia seperti preman saja, hihi.' batin Mebuki.
oOo
Tok tok tok.Ketukan pada pintu ruangan itu membuat Hyuuga Hiashi mengalihkan pandangan dari sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya.
"Tou-san, ini aku." suara lembut milik Hyuuga Hinata terdengar dari balik pintu.
"Masuklah." jawab Hiashi sambil membuka beberapa map yang tersampir di atas meja kerjanya. "Ada apa, Hinata?" tanya Hiashi lembut saat Hinata sudah berada didepannya.
"Sejak pulang dari makam Kaa-san, Tou-san mengurung diri." kata Hinata pelan, tersirat nada khawatir didalamnya. "Apakah Tou-san baik-baik saja?" sambungnya. Hiashi tersenyum kecil. Dia bangkit dari duduknya dan berdiri untuk memeluk Hinata.
"Tou-san baik-baik saja, nak." jawabnya lembut. Dielusnya pelan rambut panjang milik anak tunggalnya itu. Mengingatkan dirinya akan sang istri yang telah meninggalkan mereka selama lebih dari 8 tahun. "Mungkin hanya sedikit . . . rindu?" Hiashi tampak tidak yakin.
Hinata membalas pelukan Hiashi. "Hanya sedikit, hm?" goda Hinata. Hiashi hanya meringis kecil.
"Mungkin juga tidak." Hiashi menutup matanya sejenak. "Tidak. Aku sangat merindukan Kaa-sanmu." sambungnya. Hinata tampak mengangguk dalam pelukan Hiashi.
"Tou-san tidak sendirian." Hinata mencoba menenangkan dengan suara lembutnya. Dia tahu, Hiashi sangat mencintai Ibunya. Dan cinta itu takkan pernah hilang. "Aku juga merindukan Kaa-san." suara Hinata semakin pelan. Tangannya mengeratkan pelukan pada Hiashi, satu-satunya orang tua yang dia punya.
Hinata tahu bahwa Hiashi tidak baik-baik saja setiap harinya. Sejak Ibunya meninggal, Hiashi sangat terpukul dan sempat mengurung diri. Hinata ingat dengan jelas bagaimana Hiashi menjadi sangat kurus dan tatapannya selalu sendu. Hiashi kehilangan cintanya dan sempat merasa sangat putus asa.
Hingga akhirnya Hinata yang masih kecil menghampiri Hiashi yang sedang menatap segenggam pil tidur untuk diminum dengan mata berkaca-kaca. Hinata tak akan lupa bagaimana dirinya dan Hiashi menangis dalam diam dengan saling berpelukan sebelum mereka benar-benar bangkit dari kesedihan. Itu adalah masa-masa sulit. Bahkan, meskipun sekarang Hiashi tampak baik-baik saja, Hinata tahu betul bahwa itu adalah palsu.
"Hinata anakku tersayang." kata Hiashi sambil mencium kepala anaknya.
Untuk sekarang, biarlah ayah dan anak itu mengalami deja vu beberapa tahun silam. Berpelukan erat saling menyalurkan kasih sayang dan menangis dalam diam. Setidaknya untuk malam ini, mereka melepas rindu sebagai seorang suami dan seorang anak.
Mungkin cintanya telah mati. Tapi tidak dengan buah cinta itu sendiri.
-To be continued-
Note : Vote? ._.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Life Of Cherry Blossoms
Ficção AdolescenteKehidupan Sakura berubah 180 derajat sejak Haruno Mebuki menikah dengan Hyuuga Hiashi. Bagaimana kehidupan baru Sakura setelah menjadi saudara tiri Hyuuga Hinata dan perasaan Hinata setelah Sakura masuk ke kehidupannya? Lalu, bagaimana dengan Sasuke...