Chapter 6

27 7 55
                                    

Nyatanya, makanan hasil rampasan dari teman memang lebih nikmat.

Azdillah Kanha Farezi

••••••••••

Sejak hari itu, Risa juga mengetahui jika aku mengagumi Nino. Namun kurasa, Risa tak berniat sama sekali untuk merebut Nino dariku. Tunggu sebentar ... Aku siapa? Punya hak apa?

Nino juga lebih sering datang ke kelas ini. Sekedar mengajak Kanha makan di kantin, atau bahkan sedikit berbincang denganku. Tentu saja membuat hatiku sangat berbunga-bunga. Kenapa tidak dari dulu saja seperti ini?

"Kantin yok?" tawar Kanha disela kesibukanku menyalin catatan.

"Iya, lu nggak pernah ke kantin ya?" tambah kak Nino.

"Eh? Hehe... Enggak kak, biasanya bawa bekal sendiri," cengirku.

"Terus? Mana bekalnya?" tanya kak Nino lagi.

"Hari ini nggak bawa kak, mama nggak ada di rumah," sahutku.

"Nggak usah manggil 'kak' deh, panggil Nino aja. Tampang lo gak mencerminkan sebagai adek kelas budiman," ucapnya.

'What? Kampret kau emang!'

"Hadoh, oke, Ni-no," titahku.

"Ya udah, ke kantin bareng kita aja," ajaknya.

Kurasa itu adalah tawaran terbaik dalam hidup. Hanya makan di kantin bersama, namun sudah lebih dari cukup.

Tunggu sebentar, sejak kapan Nino mengenalku? Ia rasa Nino adalah tipe orang yang tidak suka terlalu dekat dengan wanita. Ribet katanya. Lalu? Mengapa secepat ini dia mengenalku? Apakah hanya sebatas status sebagai teman sekelas Kanha? Atau karena insiden dimintai tolong untuk memberikan tugas waktu itu?

Kututup buku catatan itu, lalu berjalan bersama Risa mengikuti arah langkah Kanha dan Nino.

"Gua seneng banget tau! Kak Nino ngajakin kita makan bareng!" bisikku di telinga Risa.

"Sa ae lo!" sahutnya.

Menyebalkan bukan? Jika saja Risa bukan sahabatku. Sudah sejak dari dulu kutinggalkan sahabat aneh itu, dan memilih teman yang asik, baik, pandai pula. Banyak!

'Dah lah! Males ngomong sama ni anak!'

Kami duduk di bangku dekat jendela kantin. Aku bahkan merasa asing dengan tempat ini. Karena, terakhir kesini adalah saat awal masuk kelas 11, sebelum rajin membawa bekal. Beberapa tatanan di tempat ini juga berbeda, lebih luas dan terlihat lebih bersih dari sebelumnya.

Duduk di tempatnya masing-masing. Mendudukkan pantatku di atas kursi panjang yang tersedia di sana. Berhadapan dengan Nino? Oh! Mimpi apa aku semalam.

"Yang pesen siapa?" tanya Kanha cengo. Apakah kita hanya akan duduk-duduk tanpa makan sedikitpun?

"Ya, lu lah! Gila kali gua pesen buat lu," sahut Nino menundang tawaku.

Kukira, Nino adalah tipe orang yang cool, keren, pendiam, dan tidak menyebalkan seperti Kanha. Ternyata mereka hanya selisih sedikit saja, sama-sama gesrek. Justru Kanha yang selalu terbully oleh Nino.

"Asem!" umpatnya sembari berdiri, lalu pergi meninggalkan meja itu. Tak lama, ia kembali lagi.

"Lu pada pesen apaan dah? Gua kek orang bego gatau mo pesen apaan," ucapnya mengacak belakang kepalanya.

"Punya otak, ga di gunain ya gini!" sahut Nino santai.

"Pala lo! Pesen ndiri sono!" cibir Kanha kesal dengan sahabatnya itu.

Dear, KANHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang