Jangan lagi berharap! Karena realita selalu mematahkan ekspektasi yang kita punya
Naira Aifa Putri
••••••••••Aku berlari terbirit-birit menuju gerbang sekolah. Hari ini aku telat berangkat sekolah. Yap! Karena semalam sibuk menonton drama Korea hingga larut malam. Alhasil, terbangun pukul 06.45 WIB.
"Asem! Gerbang udah tutup. Gimana dah ini?" monologku memegangi gerbang sekolah yang telah tertutup.
Ku lihat satpam yang sedang tertidur. Otak setanku mulai beraksi, berniat untuk diam-diam masuk ke dalam. Namun gerbang digembok, dan kuncinya kemungkinan dibawa oleh satpam.
"Pak, pak satpam!" teriakku membangunkan satpam yang tertidur di pos jaga.
Satpam itu mengerjap dan langsung berdiri. Mungkin ia berpikir jika kepergok oleh kepala sekolah atau staff lainnya, namun ternyata hanya anak ingusan yang telat masuk sekolah.
"Kamu ini! Saya kira kepala sekolah," ucapnya berjalan ke arahku. See? Pikiranku benar.
"Hehe. Pak! Tolongin saya pak, plis," pintaku menangkupkan kedua tangan di depan dada, ala-ala foto lebaran.
"Telat kamu? Sudah jam segini baru berangkat sekolah? Niat sekolah atau cuma main-main kamu?" bentaknya garang.
"Justru itu pak. Saya niat dan saya berusaha masuk, lagian baru sekali ini doang saya telat masuk sekolah. Biasanya Kanha telat aja masih bisa masuk. Masa saya enggak? Apa jangan-jangan bapak disogok ya sama dia? Saya bilangin kepala sekolah loh!" ucapku panjang lebar.
"Enak aja kalo ngomong! Ya sudah, saya bukakan. Tapi kamu harus meminta ijin sama guru piket dulu." Tangan satpam itu tergerak membuka gembok, membukakan pintu gerbang untukku.
"Makasi pak!" teriakku berlari terburu-buru meninggalkan pos satpam.
Aku berjalan mengendap-endap melewati koridor sekolah. Sebenarnya aku sangat malu, bisa ketahuan kalau telat sekolah. Apalagi banyak lalu-lalang siswa berjalan di luar kelas. Harus siap menahan malu.
Kepalaku menegok ke kanan dan kiri, memastikan jika tidak ada guru yang sedang piket. Kaki ini terus melangkah mendekati ruang kelas, hingga ...
"Naira, mau kemana?"
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak. Napasku tercekat, dan kini benar-benar terpergok datang terlambat ke sekolah.
Membalikkan badan, dan Bu Ida---guru piket sedang berdiri di sana.
"Eh ibu, maap bu saya telat. Tapi suer deh bu! Beneran, baru kali ini doang saya telat," titahku menjelaskan.
"Ya sudah, kamu ambil surat ijin di kantor, dan berikan kepada guru yang sedang mengajar di kelas."
Bu Ida berlalu meninggalkanku. Membuat bernafasku lega, untunglah tidak mendapat hukuman apapun.
Sesuai perintah guru, aku mengambil surat ijin terlambat di kantor. Keadaan kantor sudah sepi, hanya beberapa guru yang mungkin sedang tidak memiliki jam mengajar.
Kulangkahkan kaki kembali menuju kelas. Peluh keringat bercucuran membasahi dahi. Nafasku sudah terengah-engah karena jarak gerbang, kantor, dan kelas lumayan jauh. Bahkan harus berputar arah karena kepergok oleh guru piket.
Kutarik kenop pintu itu. Kepalaku menoleh ke arah teman-teman.
"Assalamualaikum." Sapaku kepada seisi kelas.
"Waalaikumussalam," jawab seisi kelas serentak.
Lalu teman-teman kembali terfokus pada kegiatannya. Sibuk mencatat sesuatu, entah apa, aku tak mengetahuinya. Langkahku terhenti ketika berdiri tepat di depan meja guru.
"Permisi bu, maaf saya telat," ucapku sembari menyodorkan surat ijin yang kuambil dari kantor.
"Iya," jawab Bu Dina.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena yang kutahu selama ini bu Dina selalu santai. Tidak galak seperti guru yang lainnya. Melangkahkan kaki menuju bangku, sebelum suara itu menghentikan langkah.
"Mau kemana?" tanya bu Dina yang tidak kumengerti. Jelas-jelas mau duduk, kenapa harus bertanya?
"Duduk bu," jawabku polos.
"Kamu 'kan telat, olahraga lari lapangan sebanyak 10× dulu gih," pintanya.
What the hell? Pagi-pagi seperti ini sudah kena hukuman? Baru kali ini dalam sejarah hidup, aku dihukum oleh guru. Bahkan oleh guru yang kukira santai. Diam-diam menghanyutkan.
"Bwahahah, ngakak gua ngakak, mampus lo Nay!" teriak Kanha disela tawanya. Anak itu memang selalu bahagia saat diriku sengsara.
Aku memasang mukanya dengan setenang mungkin. Tak ingin terlihat jika sedang menyembunyikan rasa malu. Meletakkan tas punggung di kursi, lalu berjalan kembali menuju lapangan. Belum lari saja kakiku sudah capek. Berjalan kesana kemari dan sekarang terkena hukuman pula.
"Asem! 20 menit lagi istirahat pertama padahal! Malah gua kena hukuman. Ada kakak kelas olahraga lagi! Malu dong seorang Naira dihukum," gerutuku saat mendapati beberapa anak yang sedang berolahraga.
Aku mulai berlari mengelilingi lapangan. Mengalahkan rasa malu ketika berlari diantara kakak kelas yang sedang melakukan kegatan olahraga. Cahaya matahari yang semakin terik, membuatku kelelahan bukan main. Bahkan kaki ini tak pernah ku gunakan untuk olahraga, dan sekarang? Bisa-bisa kakiku kaget diajak untuk gerak sedikit saja.
3 putaran, 5 putaran, 8 putaran. Napasku sudah terengah-engah ketika sampai di 8 putaran, kaki serasa ingin copot sekarang juga! Kepalaku pusing bukan main, namun sebisa mungkin tetap bertahan. Karena tak ingin mendrama seperti di film-film. Pingsan lalu ditolong oleh gebetan? Oh, tidak mungkin!
"Semangat dek larinya! Abang bantuin ya, bantu do'a," teriak seorang kakak kelas yang sama sekali tak kukenal.
"Semangat dek! Nanti gua beliin tissue, lo yang bayar," ucap seorang kakak kelas lagi. Ingin sekali aku mengumpati kakak kelas itu. Bisa-bisanya membuat lawakan dikala seperti ini.
Keringatku meluncur dengan sempurna di wajah. Tanganku sesekali mengusap keringat yang bercucuran di sana.
Tengg! tengg!
Lonceng tanda berakhirnya jam belajar mengajar telah berbunyi. Siswa-siswi satu-persatu berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Satu putaran lagi, dan aku juga bisa kembali ke kelas lagi.
Tak sengaja mataku menangkap sosok Nino yang sedang berjalan ke arahku. Sembari membawa botol air mineral di tangan kanannya. Hati ini sangat berbunga-bunga, belum apa-apa saja aku sudah merasa sangat gembira.
'So sweet aaaa!!'
Aku memekik gembira di dalam hati. Rasanya seperti terbang ke atas awan, terbang bersama kupu-kupu yang memenuhi perutku.
Nino semakin mendekat, mendekat, mendekat.
"Nino," sapaku dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibir.
"Eh Nai, gua duluan ya?"
'Lah? Bukannya nyamperin gua?'
Kuikuti arah langkah Nino. Ternyata ia menghampiri sekumpulan perempuan yang sedang berteduh di bawah pohon. Bisa di pastikan mereka sehabis melakukan olahraga.
Nino menyodorkan sebotol air mineral itu kepada seorang perempuan. Hatiku patah dibuatnya. Anganku sudah terlalu jauh, dan sekarang hanyalah sakit hati yang terasa. Seperti diterbangkan tinggi ke angkasa, lalu dijatuhkan, jatuh ... sejatuh-jatuhnya.
'Mampus kau dihajar realita, Nay!'
Tbc
•••What's next?
Pantengin teros skuy!

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, KANHA
Fiksi RemajaUPDATE SETIAP HARI! STAY TUNE OKE Sebait catatan untuk azdillah Kanha Farezi. Catatan tentang sebuah kenangan yang tersimpan rapi di dalam ingatan, tanpa pernah sedikitpun terlupakan. Mungkin ini hanya catatan usang di dalam hati yang lapang. Namun...