Chapter 9

17 5 15
                                    

Tolong jangan beri aku harapan, jika akhirnya menyakitkan.

Naira Aifa Putri
•••••

Sejak saat itu, aku dan Nino perlahan mulai dekat. Entah aku saja yang merasakannya, atau memang kami dekat. Nino juga pernah menemui ayahku, karena memang ayahku yang meminta berbicara dengannya.

Kata ayah, Nino adalah anak yang cukup baik nan sopan. Mungkin lampu hijau untuknya? Haha mungkin.

Aku tah tahu, kedekatanku dengannya menimbulkan rasa yang sama atau lagi-lagi hanya aku saja. 1 bulan lamanya, dan aku semakin dekat dengannya. Pulang sekolah diantar olehnya, jogging bersama di hari minggu, walau hanya berputar di komplek rumahku. Aku bahagia, sangat bahagia.

Seperti sekarang, kami berempat tengah duduk di bangku kantin. Sejak saat itu pula, aku jarang membawa bekal dari rumah. Jika bisa makan bersama Nino, kenapa tidak?

"Makan saus jangan banyak-banyak, Nay! Nanti sakit perut," ucap Nino memberiku peringatan.

Aku memang tipikal orang pecinta rasa pedas. Entah saus ataupun sambal. Aku suka.

"Hihi, enggak kok," ucapku meletakkan kembali saus yang hampir kuhabiskan sendiri.

Kami berempat tengah menikmati mie ayam, mie ayam di sini sangat enak. Mie ayam juga termasuk kedalam daftar makanan yang kusukai, terlebih jika ditambah banyak saus dan sambal. Nikmat.

Nino mengembil selembar tissue yang berada di atas meja. Mendekatkan tangannya ke arahku. Aku hanya diam.

Tangannya tergerak mengelap sudut bibirku. Mengelapnya perlahan. Oh, memang seperti di drama-drama.

"Uhuk, uhuk, huekk!" sindir Kanha yang kutahu hanya berpura-pura batuk saja.

"Obat nyamuk, obat nyamuk!" sindirnya lagi.

"Apa dah lu? Sewot aje dah!" sahut Nino menjauhkan tangannya dari wajahku.

Aku tersenyum simpul. Sebisa mungkin menetralisir air mukaku yang mungkin terlihat tegang.

"Ekhem, makin uwu aja lu sama kak Nino," bisik Risa di sebelahku.

Lagi-lagi hanya mampu kubalas dengan senyuman saja.

"Nay, ntar pulang bareng gua aja, ya?" ajak Nino. Tentu saja langsung mendapat persetujuan dariku, bahkan belum diminta saja aku sudah meng-iyakan.

"Gua sama siapa woy?" teriak Kanha di telinga Nino. Membuatnya menutup telinga rapat-rapat.

"Gausah ngegas kampret! Budeg telinga gua!" teriak Nino ditelinga Kanha.

"Lu juga teriak-teriak woy!" sahut Kanha.

"O iya lupa," ucapnya. "Kan lu stay sama tukang ojek," lanjutnya.

"Tai lu!" umpatnya.

"Hayo Kanha! Language nya dijaga. Gua aduin emak lu mampus!" ucap Nino memberikan peringatan.

Kanha dan Nino memang sangat dekat. Bahkan kedua keluarganya juga daling mengenal. Nino menganggap Kanha sebagai sahabat sekaligus adiknya. Yah, walaupun tak ada ikatan apapun diantaranya.

"Ya udah si, besok gua sekolah naik lamborghini!" gerutu Kanha.

"Kayak punya aja lu!" sinis Nino.

Mereka memang seperti kucing dan tikus saat sedang bersama. Namun, apapun yang terjadi selalu mereka lalui bersama. Suka-duka selalu bersama.

Aku bahagia berada diantara mereka. Melihat senyum ceria Kanha dan Nino. Sama-sama manis, hanya saja aku menganggap Nino lebih. Sedangkan Kanha, aku tetap menganggapnya sebagai bocah yang menyebalkan.

Waktu terus berputar, dan kini bel sekolah lagi-lagi memisahkan aku dengan Nino. Tapu tak apa, pulang sekolah aku akan menghabiskan waktu bersama dengannya. Walau hanya beberapa menit perjalanan pulang.

____

5 menit aku menunggu di sini. Didekat parkiran sekolah, menunggu Nino yang entah ada di mana. Menengok kesana-kemari hingga mataku menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.

"Maaf, nunggu lama ya? Tadi gurunya ngaret soalnya. Udah bel pulang, tapi masih lanjut pelajaran," gumamnya sambil menekuk wajahnya.

Aku tersenyum melihat wajahnya yang seperti itu, ingin sekali tanganku mencubit kedua pipinya. Menggemaskan.

"Mau makan dulu nggak?" tanya Nino disela kegiatannya menyetir motor.

"Em ... Boleh," jawabku sekenanya.

Dia memarkirkan motornya di sebuah restoran yang lumayan ramai. Aku juga pernah ke sini, saat ayahku pulang penugasan, kami makan bersama di sini bersama mama juga.

"Mau pesan apa mbak, mas?" tanya pelayan itu saat kami baru saja mendudukkan tubuh di salah satu bangku di pojok dekat jendela kaca yang menyediakan pemandangan kota yang sangat indah.

"Lo mau apa?" tanya Nino menyodorkan sebuah buku menu ke arahku.

Aku melihat-lihat isi buku menu itu, dan mataku tertuju pada sebuah nasi goreng, hanya nasi goreng.

"Nasi goreng sama lemon tea aja deh," ucapku menyodorkan kembali buku menu itu ke arahnya.

"Oke, nasi gorengnya 2, sama lemon teanya 2 ya mbak?" ucap Nino kepada pelayanan.

"Baik, ditunggu sebentar ya, mas, mbak," ucapnya ramah.

Di sini, kenangan masa lalu kembali terputar. Kenangan, di mana keluargaku selalu memiliki waktu untuk bersama sebelum kenaikan pangkat ayah yang merubah segalanya. Kepulangan ayah adalah hal terindah yang selalu dinantikan olehku dan juga mama. Keluarga kecil yang selalu bahagia saat bagian keluarganya utuh.

Nino mengajakku mengobrol banyak hal, tentang apapun yang dia suka, dan apapun yang tak disukainya. Semakin kesini, rasa yang timbul di relung hatiku semakin kuat. Tolong jangan beri aku harapan, jika akhirnya menyakitkan.





Tbc
•••

Next?
Jan lupa krisarnya ya, hehe...

Dear, KANHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang