Malam ini udara cukup segar, ia bahkan bisa merasakan semilir angin membelai rambutnya perlahan hingga ia kegelian. Sebenarnya ia cukup sedih, hari ini Haidar harus berangkat ke London. Tapi, esok ada seleksi untuk ikut perlombaan di Bandung. Rafa tak bisa larut dalam kesedihan, ia harus tetap fokus karena jika tidak, kesempatan bagus ini akan melayang begitu saja.
“udah siap?” tanya Haidar, Rafa yang sedang memasang sepatunya pun tersenyum lalu mengangguk. Haidar pun segera mengangkat tas selempangnya dan menarik kopernya. Rafa menutup pintu dan menguncinya.
“sini Den, biar Bapak bantu” ujar Pak Beno sambil menawarkan bantuannya untuk menyimpan koper di bagasi.
“gak apa-apa Pak, saya aja. Bapak nyalain mobil aja” jawab Haidar sambil tersenyum. Pak Beno pun bergegas kembali ke mobil dan menyalakan mobilnya.
Haidar dan Rafa pun menaiki mobil. Pak Beno langsung tancap gas menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selama di perjalanan, tak ada yang angkat bicara. Bahkan Pak Beno yang biasanya selalu punya bahan obrolan, kini hanya terdiam dan fokus mengendarai mobil.
Haidar melirik ke arah Rafa yang sedang melihat keluar jendela. Rafa daritadi hanya diam saja, sambil mendengarkan lagu dari ponselnya lewat earphone. Haidar tersenyum, wajah Rafa ketika diam seperti itu benar-benar menarik hatinya.
Tangan Rafa yang terbebas kini mulai digenggam oleh Haidar. Mata Haidar menatap keluar jendela sambil tersenyum, kini giliran Rafa yang menoleh ke arahnya dan mengernyitkan dahinya. Ia melihat Haidar dan tangannya bergantian, jarang-jarang sekali Haidar melakukan hal itu. Tapi Rafa membiarkannya begitu.
Setibanya di bandara, Haidar dan Rafa segera turun. Pak Beno membantu Haidar menurunkan kopernya, yang sebenarnya Haidar bisa lakukan itu sendiri tanpa bantuan Pak Beno. Pak Beno akhirnya kembali ke dalam mobil dan melajukan mobilnya ke tempat parkir. Rafa akan menelepon Pak Beno jika Haidar sudah boarding.
Jam di bandara menunjukkan pukul 9 malam, masih ada waktu sebelum Haidar harus boarding pada pukul 10.15. Keduanya akhirnya memutuskan untuk membeli secangkir kopi di salah satu cafetaria.
“lo kalo ada apa-apa langsung telepon Papa atau Mama ya, atau telepon abang-abang lo” ujar Haidar sambil menyesap secangkir kopi.
“iya” jawab Rafa singkat.
“nanti kalo gue udah turun, gue langsung nelepon lo kok” tambah Haidar.
“sip” jawab Rafa singkat.
“lo gak usah ragu minta bantuan Faris dan yang lain, gue udah minta mereka buat bantuin lo” tambah Haidar, lagi.
“iya” jawab Rafa singkat.
“kalo lo butuh temen curhat, telepon gue aja, chat juga boleh” tambah Haidar, lagi.
“iya ah buset bawel bener lo, kayak ibu-ibu” gerutu Rafa. Haidar terkekeh, ia sengaja menggoda Rafa. Muka Rafa yang kusut membuatnya ingin memeluk Rafa erat, tapi ia memilih untuk mencubit pipinya saja.
“lo udah nentuin mau masuk apa ntar disana?” tanya Haidar. Rafa langsung tahu arah pembicaraannya, ia pasti menanyakan tentang jurusan yang akan ia pilih begitu Rafa lulus SMA. Rafa harus segera memilih karena ia juga harus mengurus berkas-berkasnya lebih awal.
“gue masih ragu sih, antara astronomi sama teknik. Kalo gue apply di UCL itupun” jawab Rafa sambil menyesap secangkir cappuchino.
“lho, emang selain UCL lo mau apply kemana?” tanya Haidar, bingung. Padahal setahunya Rafa hanya akan apply di University College London saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Mr. Detective
Teen FictionRafa selalu berdoa agar keluarganya tetap sehat dan bahagia. Tak pernah sedikitpun terselip doa ingin cepat dapat jodoh. Tapi Tuhan mempertemukan Rafa dan Haidar dengan cara yang tidak biasa! Bagaimana kisah seorang gadis tomboy berusia 17 tahun yan...