Rafa membuka matanya perlahan, turbulensi yang ia rasakan membuatnya terbangun dari mimpi buruknya. Ia bermimpi Edi menghubunginya malam-malam dan mengatakan bahwa Rafa meninggal karena bunuh diri di selnya.
Ia mencoba melihat ke depan, melihat ke sekeliling, mencari-cari keterangan tentang turbulensi yang baru saja terjadi. Namun tak ada pemberitahuan apapun tentang turbulensi tadi, lama-lama ia merasa mungkin tadi hanya bayangannya saja. Toh pria disampingnya ini masih bisa tertidur lelap.
Ia mencoba menutup matanya kembali, namun setelah berusaha selama lima menit akhirnya gagal juga. Ia menengok ke luar jendela, namun hanya gelap yang mampu matanya tangkap. Ia mendesah pelan, perjalanan pertamanya menuju London sungguh memakan waktu.
Ia merogoh saku parkanya, mencari tiket pesawatnya yang tadi ia simpan di saku. Setelah menemukannya ia langsung melihat jadwal penerbangannya lagi. Ia akan tiba di Abu Dhabi pukul 11.45 malam untuk transit selama 2 jam lebih dan akan melanjutkan perjalanannya lagi menuju London Hearthrow Airport hingga pukul 7 pagi. Ia melihat jam di ponselnya, masih pukul 10.30 malam, bahkan untuk tiba di Abu Dhabi pun masih lama.
Ia mendesah pelan, ponselnya yang berada dalam mode pesawat tak bisa digunakan sebagai alat berkomunikasi dengan Haidar. Andai saja dalam pesawat diizinkan untuk menyalakan koneksi ponsel, ia akan ikhlas menempuh berjam-jam perjalanannya menuju London.
“Dar, kalo aja lo disini, gue pasti gak ngerasa bosen” gumam Rafa asal ceplos. Sedetik kemudian ia langsung kegelian mengingat kata-kata yang tadi terlontar dari mulutnya. Ia langsung bersyukur Haidar tak mendengar kata-katanya tadi.
-
“hey, we’re going to landing. Put your seatbelt right now” bisik pria disamping Rafa sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rafa. Mata Rafa masih terasa berat, tangannya menggapai-gapai mencari dimana sabuk pengamannya.
Sedetik kemudian pesawat mengalami turbulensi lagi. Mata Rafa langsung terbelalak dan ia buru-buru memasang sabuk pengamannya. Jantungnya berdesir hebat, rasanya cukup menyiksa tubuhnya karena jantungnya dipaksa berakselerasi cepat. Pria disampingnya hanya terkekeh melihat reaksi Rafa terhadap turbulensi tadi.
“it’s okay, honey. You’re not going to die, not now” ujar si pria sambil terkekeh, Rafa menoleh ke arahnya sambil tersenyum kaku. “is this your first flight?” tanya pria itu, Rafa langsung mengangguk cepat.
“just relax, take a deep breath. If we die now, at least we’re not going to die in the middle of nowhere. Maybe a plane crash or fire is the reason” ujar pria tersebut, sungguh tak membuat keadaan membaik. Rafa memejamkan matanya, terus memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Jika ini detik terakhirnya menghirup udara, biarkan ia terus mengingat kenangan indahnya bersama orang-orang terkasihnya.
Setelah beberapa menit, pesawat pun akhirnya landing. Rafa akhirnya bisa bernapas lega, ia buru-buru melepaskan sabuk pengamannya dan mengemas beberapa barang miliknya ke tas selempang. Ia mengedarkan pandangannya ke luar jendela, langit sudah mulai cerah.
Rafa buru-buru mencari Haidar setelah mendapatkan kopernya di ban berjalan. Haidar bilang ia akan menunggunya di pintu masuk bandara. Rafa mengutuk Haidar dalam hati, kenapa pria itu menunggu di tempat yang jauh dari pintu kedatangannya.
“hey!” seru seorang pria dari belakang Rafa. Rafa segera menoleh dan berharap itu Haidar. Namun ternyata pria yang tadi duduk di sampingnya ketika berada di pesawat sedang melambaikan tangannya ke arah Rafa. Rafa mengernyit, apa yang diinginkan pria itu?
“your scarf, I found it on your seat” ujar pria tadi ketika jaraknya dan jarak Rafa hanya tinggal 2 meter. Rafa tersenyum dan meraih scarfnya seraya mengucapkan terima kasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Mr. Detective
Teen FictionRafa selalu berdoa agar keluarganya tetap sehat dan bahagia. Tak pernah sedikitpun terselip doa ingin cepat dapat jodoh. Tapi Tuhan mempertemukan Rafa dan Haidar dengan cara yang tidak biasa! Bagaimana kisah seorang gadis tomboy berusia 17 tahun yan...