Sabtu pagi yang cerah, Rafa bangun awal sekali karena sangat bersemangat untuk menghadapi hari ini. Rafa sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pelatih asal Korea itu. Rafa ingin segera mendapat pengalaman baru, ia yakin hari ini pasti mengasyikkan.
Ia segera turun dari kamar, lalu terkejut ketika melihat Haidar sudah berada di dapur. Perasaan tadi Haidar masih berada di kamar mandi, tapi kenapa sekarang ia sedang memasak di dapur? Rafa hanya menggeleng mengabaikannya.
“pagi Fa. Sorry gue cuma bisa masak ini buat lo” ucap Haidar sambil meletakkan sepiring pancake dengan sirup mapel diatasnya.
“Ngga apa-apa kok, thanks ya” balas Rafa. Haidar langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Rafa tak percaya. Rafa yang baru mengangkat garpunya menatap Haidar balik. “what?” tanya Rafa bingung.
“baru kali ini gue denger lo ngucapin ‘thanks’buat masakan gue” jawab Haidar dengan raut muka bahagia. Rafa langsung menatap pancakenya dan mulai menyuapkannya. Ia juga baru sadar, dan kini ia jadi kikuk.
Haidar duduk didepannya dan mulai ikut makan. Pakaiannya sangat rapi hari ini, bahkan kemeja putih dan celana bahan warna hitam itu lebih pantas untuknya ketimbang seragam sekolah. Meskipun ia memang masih pantas memakai seragam sekolah, tetap saja Rafa lebih suka ia memakai kemeja itu.
Tunggu, “suka’? Tidak. Rafa menggeleng segera, pikirannya benar-benar kacau. Mau kemeja putih, mau seragam sekolah, Rafa tidak boleh menyukainya. Rafa tidak mau menyukainya. Haidar bukan orang yang pantas untuknya.
"Fa, gue gak bisa jemput lo nanti sepulang latihan. Gue ada kerjaan" ucap Haidar tiba-tiba, membuat Rafa agak terkejut. "Gue juga gak ngarep dijemput" balas Rafa cepat. "Jadi, sebagai gantinya, hari Minggu mau gak nonton bareng?" Tawar Haidar, mencoba meluluhkan hati Rafa. Haidar tahu kalau Rafa suka menonton film, dan ada film yang Rafa suka sedang diputar di bioskop.
Rafa terdiam sejenak. Ada banyak hal yang Rafa pikirkan. Tentang apa yang harus Rafa lakukan selama "kencan pertama"-nya dengan Haidar, tentang bioskop terjauh mana yang sekiranya tak ada seorangpun bisa mengenali mereka, dan tentang perasaan aneh yang ia rasakan. Rafa mulai yakin, dirinya benar-benar sakit.
"So?" Haidar bertanya lagi, meminta jawaban dari Rafa yang sudah terdiam hampir satu menit. "Oke" jawab Rafa, membuat seulas senyuman tersungging di wajah Haidar. "Tapi kita harus cari bioskop terjauh" ujar Rafa cepat. "Jangan ada satupun orang sekolah yang bisa liat kita" lanjutnya.
Haidar terdiam, otaknya berusaha menyortir ribuan daftar bioskop. Mencari bioskop dengan kemungkinan terkecil ada warga sekolah yang bisa bertemu dengan mereka disana. Hingga tiba-tiba satu ide Haidar muncul tanpa terduga.
"Kita ke Bandung aja" ujar Haidar, mata Rafa membelalak seketika. "Lo gila? Bandung kejauhan kali. Kenapa lo gak cari bioskop di Bekasi atau Depok aja? Gak usah jauh-jauh ke Bandung juga" gerutu Rafa. "Ya gue kan kangen Bandung Fa. Sekalian gue kenalin lo ke keluarga gue yang di Bandung" gumam Haidar, kecewa karena ide yang menurutnya sangat cemerlang itu ditolak Rafa mentah-mentah.
"Dar, kita lagi nyari bioskop, bukan mau silaturahim sama keluarga lo. Lagian kan kalo ketemu sama keluarga masih bisa nanti. Sekarang kan waktunya cuma bentar" jelas Rafa. Perasaan kecewa jelas terukir di wajah Haidar, Rafa jadi merasa bersalah. Rafa takut kata-kata yang tadi ia ucapkan tidak sengaja mengecewakan Haidar.
“ngga, pokonya Bandung” Haidar segera bangkit dari kursinya dan membawa piring kotornya ke wastafel. Rafa menatap Haidar tak percaya, nada bicara Haidar kembali menyebalkan. Ternyata Haidar memang keras kepala.
Dengan segera Haidar pamit dan pergi meninggalkan Rafa sendirian di rumah. Rafa agak terkejut dengan Haidar, ternyata makannya cepat sekali. Tapi Rafa juga agak penasaran, apa yang dilakukan kantornya di akhir pekan seperti ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Mr. Detective
Novela JuvenilRafa selalu berdoa agar keluarganya tetap sehat dan bahagia. Tak pernah sedikitpun terselip doa ingin cepat dapat jodoh. Tapi Tuhan mempertemukan Rafa dan Haidar dengan cara yang tidak biasa! Bagaimana kisah seorang gadis tomboy berusia 17 tahun yan...