[2] Calon

1K 109 3
                                    

—Selamat membaca🐰

"Jaemin, Jisung hari ini benar-benar sesuatu ya." Haechan masih tertawa terbahak-bahak mengingat hal tadi. Haechan tadi tidak sengaja melihat sesuatu hal yang memalukan.

"Sudah Echan, jangan tertawa terus." Ucap Jaemin yang sudah tidak kuat lagi untuk tertawa. Perutnya terasa keras karena kebanyakan tertawa.

"Kena karma tahu rasa lho."

"Ji, tapi ini tidak mau berhenti ha ha."

Brukk

Dan benar saja, Jaemin dan Haechan jatuh tersungkur karena tersandung kakinya sendiri. Tubuh Haechan menimpa Jaemin. Nah 'kan, sifat ceroboh Jaemin menular ke Haechan.

"Belum juga lima menit. Kekuatan karma memang benar adanya." Jisung menertawakan jatuhnya Haechan dan Jaemin yang tidak elit.

"Sudah jatuh, tertimpa hulk pula." Dan Jaemin langsung mendapat jitakan maut oleh Haechan.

Sebenarnya, tadi Haechan tidak sengaja melihat resleting Kim ssaem yang tidak tertutup dengan benar. Haechan segera membisikkan ke Jaemin, Jaemin ke Jisung dan Haechan menyebarkan ke Yonghee dan seterusnya hingga menyebar ke satu kelas. Alhasil satu kelas tertawa terbahak-bahak sampai Kim ssaem mengernyit bingung dengan anak didiknya.

Yangyang sang ketua kelas maju, membisikkan sesuatu ke Kim ssaem. Setelahnya, wajah Kim ssaem memerah malu. Untung saja kelas cepat berakhir. Kim ssaem segera keluar kelas dan mungkin sedang mengumpat menyumpah serapahi muridnya dalam hati.

"Sudah ah, aku pulang dulu. Ayah sudah menjemput."

"Ya sudah sana. Dasar anak ayah!" Ejek Haechan. Padahal hari ini rencananya mereka bertiga akan jalan-jalan ke mall. Tapi Jaemin tidak bisa karena ayahnya memintanya untuk langsung pulang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.

"Tidak apa-apa, Chan. Kita belanja berdua saja kalau begitu."

"Benar juga."

Mendengar percakapan mereka, Jaemin merengut. Coba saja kalau ayahnya pengertian, pasti Jaemin sudah bersenang-senang sekarang.

"Ayo." Ajak Jaehyun.

Jaemin berpamitan kepada kedua sahabatnya. Lalu masuk ke dalam mobil ayahnya. Jaemin masih merengut kesal terhadap ayahnya. Ia mengalihkan wajahnya ke arah jalanan.

"Ada apa hmm?" Tanya Jaehyun yang sedang menyetir.

"Tidak."

"Tapi wajahmu itu mengatakan kalau, aku kesal dengan ayah. Ayah menyebalkan. Bukan begitu?" Jaehyun menirukan gaya berbicara Jaemin ketika sedang kesal. Kemudian menoleh ke arah sang anak. Jaemin masih tetap tidak bergeming.

"Maafkan ayah sudah membuatmu kesal."

"Memangnya ada hal penting apa, yah? Untuk apa aku ikut membicarakan hal itu? Aku saja tidak punya hal penting."

"Lalu ayah bukan hal penting?"

"Bukan."

"Lalu apa?"

"Seseorang yang berharga dan tidak tergantikan hehe." Jaemin kembali tersenyum bahagia. Moodnya kembali dengan cepat. Jadi Jaehyun tidak harus membujuknya dengan memberikan barang-barang mahal.

"Bisa saja kamu, " Jaehyun mengusak kepala Jaemin tanpa mengurangi fokusnya dalam menyetir. "Anak siapa sih?"

"Anak ayah Jaehyun dan bunda Jungwoo." Serunya tersenyum lebar. Bagai virus yang menular, Jaehyun ikut tersenyum.

"Ayah, kita mau ke mana?"

"Makan dulu ya."

"Tumben makan di luar?" Jaemin memicing. Ia curiga.

"Sekali-kali."

Jaemin hanya ber-oh ria. Ia mengambil kamera yang ada di jok belakang. Kamera yang dibelikan ayahnya ketika Jaemin berusia 11 tahun. Saat itu Jaehyun memergoki Jaemin yang suka memotret menggunakan ponselnya. Dan banyak berbagai macam foto Jaemin potret. Bahkan foto kabur pun Jaemin simpan.

"Sudah sampai."

Jaemin keluar dari mobilnya. Tak lupa ia membawa kameranya yang ia gantungkan di leher. Diikuti Jaehyun berjalan beriringan memasuki sebuah restoran mewah.

Sampai, Jaemin dan Jaehyun duduk. Tak lama kemudian pramusaji menyajikan banyak makanan di meja. Hal ini membuat Jaemin heran. Makanannya banyak sekali. Kalau dipikir-pikir, mereka hanya berdua. Lalu siapa yang akan menghabiskannya?

"Yah, serius ini?" Tanya Jaemin memandang isi meja dengan tidak percaya.

"Serius lah, masa bohongan."

"Tapi kalau tidak habis 'kan sayang yah. Kita tidak boleh membuang makanan." Ketusnya.

"Tenang saja, ini semua pasti habis."

Jaemin menghela napas, ia sibuk memotret makanan di hadapannya sebelum dimakan.

Clirtz

Clirtz

Clirtz

"Hay." Sapa seseorang menghampiri Jaehyun dan Jaemin. 

"Hey, mana Jeno?" Tanya Jaehyun tersenyum senang dengan kedatangan dia. Jaemin memasang wajah terkejut dan bingung. Ayahnya itu terlihat sangat akrab dengan orang itu. Lalu Jaemin terkejut ketika Jeno datang menghampiri orang itu.

"Ma,,, hai om." Sapa Jeno ke ayahnya dengan ramah.

"Ayo duduk."

Seketika tingkah aneh ayahnya dan ucapan Haechan merasuki otaknya. Jadi benar, ayah mau nikah lagi? Dengan bunda Jeno? Batinnya tidak terima.

"Sayang, kenalkan dia Lee Taeyong dan Lee Jeno. Dia calon bun—"

"—jadi benar kata Echan, ayah mau nikah lagi." Tanyanya menatap dua orang bermarga Lee itu lalu menatap ayahnya meminta penjelasan.

"Sayang—"

"Aku pulang duluan, yah." Jaemin bangkit dari duduknya dan berlari ke luar restoran. Jaemin tidak ingin memiliki bunda baru. Cukup Jungwoo saja.

"Kenapa ayah senang sekali ketika ada mereka? Sepertinya Jeno dan ayah sudah saling kenal?" Monolognya masih dalam keadaan berlari. Karena tidak hati-hati, Jaemin jatuh. Perlahan liquid bening turun begitu saja ketika dengan susah payah dibendung. Padahal, setiap hari Jaemin jatuh tapi rasanya tidak se-menyakitkan ini. Perih.

Jaemin menunduk sambil mengamati luka lecet di telapak tangannya. Ia masih menangis. Bahkan ayahnya sama sekali tidak mengejarnya.

"Jangan menangis." Ucap seseorang berjongkok di hadapan Jaemin. Orang itu tersenyum dan meraih tangan Jaemin yang terluka kemudian menempelkan sebuah plester bergambar beruang. "Ayo berdiri." Jaemin menurut. Orang itu mengambil kameranya yang terjatuh.

Jaemin mengamati orang itu. Wajahnya banyak lebam dan tangannya lecet-lecet. Jaemin teringat, ia masih memiliki banyak plester bergambar kelinci di sakunya. Ia merogoh sakunya dan mmengambinya.

"Untuk lukamu."

"Banyak sekali, aku tidak apa-apa."

"Terima saja. Terima kasih sudah membantuku."

"Baiklah, sama-sama." Orang itu mengambil plester di tangan Jaemin. "Tanganmu itu kenapa banyak sekali plester yang tertempel?"

"Aku ceroboh."

"Sekali lagi terima kasih." Ucap Jaemin membungkuk lalu pergi meninggalkan orang itu.

"Padahal aku belum menanyakan namanya." Ujarnya memandang hansaplast di tangannya. "Hyunjin bodoh."

—TBC—

Iridescent, Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang