[1] Hari pertama

381 76 215
                                    

"BOBBY SIALAN!" teriakku kepada seorang laki-laki yang sedang berbicara melalui telfon denganku. Aku tidak mempedulikan penumpang angkot lain yang sedang menatapku dengan berbagai ekspresi. Aku tidak peduli.

"Jangan ngatain abang lo kayak gini! Ntar lo bisa durhaka sama abang lo yang ganteng ini" balas Bobby menasehati. Aku mendengus kesal.

"Gue benci banget sama lo!"

"Gue juga sayang sama lo, Julie"

"Lo jahat banget! Kenapa lo ninggalin gue sih?"

"Gue gak ninggalin lo. Gue kan sayang banget sama lo"

"Gue lagi serius! Kenapa lo ninggalin gue sampai gue harus pergi sekolah sendirian sih?"

"Habisnya lo bangunnya lama banget"

"Gue bangun telat, karena ulah siapa coba?"

"Karena siapa?"

"Karena lo lah. Gue kan seharian kemarin nemenin lo ke salon" aku mengingatkan Bobby kembali bahwa seharian kemarin waktuku dihabiskan dengan menemani dirinya yang notabennya adalah kakak sepupuku untuk pergi ke salon agar bisa mengubah warna rambutnya kembali menjadi hitam. Kata Bobby, dia tidak ingin di hukum di hari pertama, jika rambutnya masih berwarna ungu. Siapa suruh laki-laki menyebalkan ini sok mengikuti tren mewarnai rambut seperti idol kpop? Dasar!

"Oh yah? Kok gue lupa?" respon menyebalkan pun diberikan oleh Bobby. Sungguh menyebalkan bukan?

"Gue bakalan botakin rambut lo nanti!" Bobby tidak takut mendengar ancamanku. Dirinya malah tertawa terbahak-bahak sekarang.

"Bobby set-"

"Lo dimana sekarang?"

"Sedikit lagi gue udah mau nyampe" aku melihat ke arah luar angkot, berjaga-jaga agar aku tidak kelewatan jalur.

"Naik apa?"

"Naik angkotlah"

"Kasihan!"

"Tai!"

"Fighting Julie! Gue tungguin disekolah ye. Eh, lebih tepatnya dilapangan upacara, karena kayaknya udah mau upacara. Bye!-tut!"

"Bobby sialan!" dan aku pun hanya bisa menahan kekesalanku, karena panggilan yang diakhiri secara sepihak oleh Bobby. Awas saja Bobby, aku akan menjambak rambutnya hingga botak nanti!

"Turun didepan pak!" perintahku kepada sopir angkot. Sopir angkot tersebut pun segera memberhentikan angkotnya. Aku memberikan uang dan segera turun dari angkot.

"Semoga gue gak terlambat" harapku, sebelum akhirnya berlari sekuat tenaga menuju jalan masuk area sekolah baruku. Mari salahkan SMA Nusantara yang terletak begitu jauh dari jalan raya!

"Hey!" sapa seorang laki-laki yang kini ikut berlari bersamaku. Aku hanya melirik laki-laki tersebut sekilas dan kembali mempercepat laju lariku. Prioritas utamaku adalah tidak ingin terlambat.

"Lo terlambat juga?" laki-laki tersebut kembali bertanya. Aku menghiraukan pertanyaan, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini aku menahan umpatanku, karena melihat laki-laki ini yang terus mencoba mengajakku untuk berbicara di situasi seperti ini.

"Hey! Gue lagi nga-"

"Jangan ajak gue bicara!"

"Kenapa?"

"SIALAN!" umpatku sambil menghentikan lariku. Laki-laki di sampingku pun ikut memberhentikan laju larinya dengan raut wajah yang masih tetap kebingungan.

Senior & Junior [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang