Part. 3

18 2 0
                                    


Begitu bel istirahat berbunyi Santi langsung menarikku ke kantin sekolah. Bangunan sederhana tempat kami biasa makan jika sedang istirahat. Kami segera mencari tempat duduk di pojok.

" Bik, beli tekwannya dua. Yang 2000an aja Bik. Minumannya air putih saja," aku memesan makanan sama Bik Kantin.

Dengan uang Rp. 2000 sudah cukup mengenyangkan. Bahkan di kantin ini bisa beli porsi seribuan. Murah sekali.

Santi dengan antusias mulai bercerita sambil menunggu makanan datang,

"Sarah, Hari Minggu kan aku pulang kampung. Nah di perjalanan ternyata aku bertemu dengan Heri," ia mulai bercerita. Suaranya menggebu-gebu. Matanya bersinar bahagia.

"Heri teman kita satu PPL?" tanyaku tak sabar.

"Iya, kami naik bus bersama. Ternyata ia juga pulang ke kota yang sama denganku. Ia sangat baik orangnya. Bahkan begitu sampai ia membelikanku oleh-oleh," ceritanya lagi.

"Jadi kamu suka sama dia? tanyaku lagi dengan tersenyum.

"He he he," ia tertawa. Aku sudah tahu apa maksud dari caranya tertawa itu.

"Ya, sudah hati-hati aja," kataku menasihati.

"Emang kenapa?" tanyanya penasaran.

"Ngga ada apa-apa sih," jawabku.

Makanan yang kami pesan datang. Kami segera mengisi perut yang sudah keroncongan. Maklum anak kos terkadang tidak sempat sarapan di rumah. Obrolan kami terhenti sejenak.

Sebenarnya aku punya firasat yang kurang baik. Heri selama ini selalu bercerita bahwa suatu saat ia mau poligami. Ia sangat percaya diri. Dikiranya banyak sekali wanita yang suka padanya. Entahlah, kupikir ia tipe cowok yang "playboy".

Santi yang sedang dimabuk cinta tak henti tersenyum ke arahku. Aku tak tega kalau ia sampai patah hati. Namun, tahu sendiri orang yang sedang jatuh cinta, pastinya tidak akan terima jika cowok yang ia taksir dijelek-jelekkan. Sehingga, mau tidak mau aku mendukung saja hubungan mereka. Jika sahabatku bahagia maka aku pun ikut bahagia.

Bel pulang berdentang. Kami bersalaman dengan anak-anak dan menunggu angkutan untuk pulang. Si Kuning telur ditunggu-tunggu kedatangannya sambil mengobrol di pos kamling pinggir jalan.

Begitu mobilnya datang kami bergegas naik dan turun di tujuan masing-masing. Aku berjalan sendirian di jalan setapak yang hampir setengah kilometer. Jalan yang hampir setiap hari dilalui, hitung-hitung sekalian berolahraga.

Sesampai di tempat kos aku segera makan siang. Tidak begitu banyak kegiatan di ruangan yang sederhana itu. Hanya ada empat ruangan kecil. Satu ruang tamu, kamar, dapur, dan kamar mandi yang super mungil.

Sorenya aku duduk di teras. Pohon nangka di samping rumah tengah lebat-lebatnya. Buah itu muncul tidak sampai 50 cm dari tanah. Bertumpuk-tumpuk saling mendesak. Tidak kurang dari 10 buah. Warnanya hijau muda.

Kriiing, kriiing. Ponselku berbunyi nyaring. Nada deringnya cempreng. Ah, siapa yang menelpon sore-sore begini, gumamku. Kulihat di layar namanya Mr. L. Segera kutekan tombol jawab,

"Hallo, Assalamu'alaikum," sapaku.

"I...ya Ha...llo. Walaikumsalam," suaranya gemetar.

Segera ditutupnya kembali sambungan telepon. Aku terkikik geli. Ada apa dengan Mr. L? Mengapa suaranya gemetar seperti orang yang ketakutan? Apa suaraku menakutkan ya? Banyak sekali pertanyaan yang memenuhi benakku.

Aku segera mandi dan berganti pakaian. Melakukan kegiatan seperti biasanya. Mengingat percakapan di telepon yang hanya sebentar tadi. Apakah ada pria yang sebegitu pemalunya sehingga menelpon seorang wanita sampai gemetar begitu.

Path of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang