Part. 6

6 0 0
                                    

Kami keluar dari laboratorium ketika bel masuk berbunyi. Santi tidak banyak berbicara, hatinya masih terasa sakit. Perasaanku pun kurang nyaman. Ingin sekali melampiaskan kemarahanku pada Heri namun sebagai seorang pendidik aku harus menjaga sikapku. Maka aku hanya bisa bersabar menunggu waktu yang tepat untuk itu. Kami bersikap biasa saja di ruangan.

Aku duduk di dekat pintu masuk. Indra menghampiri sambil membawa sebuah buku tulis dan pena. Ia duduk di sampingku.

"Apa? Ada apa?" tanyaku sebal. Hatiku masih mendidih dengan sikap kaum Adam yang terkadang sangat menyebalkan dan tak berperasaan.

"Sarah, ada apa denganmu?" Ia  bertanya heran dengan keketusanku.

"Tidak ada apa-apa," jawabku. Aku tidak dekat dengannya untuk apa aku bercerita tentang kejadian hari ini. Hal ini akan tetap menjadi rahasia aku dan Santi.

"Kalau tidak ada apa-apa jangan bicara begitu. Kami para laki-laki juga ingin dihargai dan dihormati. Bersikaplah lebih ramah dan lembut," katanya menasehati.

Aku terkejut mendengar nasehat Indra. Lelaki pendiam itu mengapa sekarang sering kali melontarkan kalimat-kalimat yang tak biasa. Aku tersenyum dan berkata,

"Oh begitu ya tapi sifat kalian itu suka menyebalkan," kataku.

"Kan tidak semuanya," balas Indra lagi. "Ya sudah tolong buat garis di buku ini!"

"Untuk apa? Bagaimana caranya? Berapa buah?" pertanyaan beruntun kuajukan padanya sambil aku mengambil pena dan buku yang diberikannya.

"Sudahlah buat saja, nanti dirimu akan tahu," katanya penuh rahasia.

Ada apa ya sebenarnya? Mengapa Indra menyuruhku membuat garis di bukunya?

🌹🌹🌹

Mau tidak mau akhir-akhir ini aku jadi memperhatikan Indra. Hari ini kemejanya putih bersih dipadukan dengan celana panjang berwarna gelap. Kulitnya yang bersih sepadan dengan bajunya itu. Tingginya kutaksir lebih dari 160 cm. Perawakannya sedang, tidak kurus dan tidak pula gemuk. Wajahnya bak diukir. Hidung mancung, bulu mata yang lentik, alisnya tebal dan hitam serta bibirnya kemerahan.Ia mungkin tidak pernah merokok. Rambutnya ikal hitam bergelombang.

Kertas itu masih di tanganku. Setelah bertanya dan memandangnya sejenak aku masih ragu harus melakukan apa. Menggoreskan pena dengan perlahan. Ada empat buah garis kutorehkan di sana. Bibirnya menguntai senyuman. Pandangan kualihkan sekeliling. Pada kemana teman-temanku, kemana merek menghilang? Ya ampun, sampai lupa ini kan sudah masuk kelas.

"Maaf, Indra. Aku harus masuk kelas dulu ya!" tergopoh-gopoh aku mengambil semua bahan untuk mengajar. Setengah berlari menuju ke kelas IX. Di sana anak-anak sudah menungguku. Mereka gembira sekali akhirnya aku datang juga. Kami belajar sambil bermain. Sesekali kulontarkan banyolan lucu sehingga mereka semua tertawa.

Kelas yang riang gembira. Ketika menoleh Santi sedang berdiri di pintu kelas. Ia memperhatikanku sambil tersenyum.

"Ayo Santi masuk saja, tidak apa-apa," aku menarik tangannya.

Ia menurut masuk ke kelas IX. A. Sejenak menyapa anak-anak.

"Eh, senangnya berada di kelas ini. Semuanya nampak senang dan bahagia," Santi berkata.

"Iya. Tidak apa-apa kalau sedang tidak ada jadwal menemaniku di kelas," kataku padanya.

Begitu kelas berakhir kami melangkah bersama. Sekilas kulihat Indra sedang berdiri sedikit bersembunyi di dekat dinding kelas VII. Jaraknya cukup jauh namun terlihat matanya masih memperhatikan kami. Ah, mungkin perasaanku saja. Aku menepis degupan jantung yang sedikit berbeda.

Apa arti garis yang kutorehkan tadi pagi? Belum sempat kutanyakan padanya.

Path of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang