Part. 9

6 0 0
                                    

Hari berlalu Leo makin sering menelpon entah hanya sekedar bertanya kabar dan bercerita. Suara gugupnya masih sesekali terdengar. Namun ia mengelak setiap kali kutanyakan.

Pagi ini di sekolah aku kembali bertemu dengan teman-teman. Santi sudah terbiasa. Ia tak begitu memikirkan Heri lagi. Heri makin akrab dengan Dewi. Dewi juga anak yang baik dan ramah. Tutur katanya halus dan wajahnya manis. Walaupun Santi sering kali mencari-cari kesalahannya dan mengatakan hal yang buruk tentang Dewi namun aku tak terpengaruh. Aku tak pernah membenci Dewi walaupun ia merebut Heri dari Santi. Itu bukan salahnya, karena ia tidak tahu apa-apa.

"Sarah, sini," panggil Indra.

Aku menghampirinya walaupun perasaanku kurang nyaman dengan kejadian sebelumnya. Mengambil kursi dan duduk berhadapan. Ia mengeluarkan buku tulis yang dulu. Masih nampak garis yang telah kugambar. Ia memperhatikan gambar itu setelahnya menatapku sambil tersenyum.

"Sarah, dirimu membutuhkan seorang laki-laki yang lembut dan sabar. Ia juga harus dewasa dan bisa "ngemong", kata Heri.

Aku mengangguk setuju.

"Dari mana kamu tahu?" tanyaku.

"Ini dari garis yang kau gambar sangat halus dan hati-hati," katanya.

"Oh begitu ya?" tanyaku.

"Aku bukan tipemu ya Sarah?" tanya Indra langsung.

"Eh, maaf," kataku spontan.

"Sarah, aku minta maaf ya soal yang kemarin. Aku telah membuatmu begitu ketakutan. Aku terpancing emosi karena anak-anak itu tidak mau menurut apa yang kuperintahkan," katanya.

"Iya, tapi lain kali tidak boleh begitu ya Indra. Kita tidak boleh melakukan kekerasan terutama terhadap anak-anak. Kita bisa menghukum mereka dengan cara yang lebih bijaksana dan mendidik," sahutku.

"Iya, aku janji tidak akan begitu lagi," kata Indra.

***

Makin hari aku dan Leo makin akrab. Mengirim pesan singkat dan menelpon dilakukan hampir setiap hari. Saling mengingatkan makan dan beribadah juga. Jika sehari saja tidak ada kabar darinya terasa sangat rindu. Resah dan gelisah melanda.

Kriiing, kriiing. Ponselku berdering selagi kami sedang mengobrol di ruang kantor. Serentak teman-temanku menoleh. Aku menerima telpon dengan semringah dan hati yang berbunga-bunga.

"Hallo, Assalamu'alaikum," kuucapkan salam padanya.

"Walaikumsalam, Sarah. Apa kabarmu pagi ini?" tanya Leo.

"Alhamdulillah sehat, bagaimana denganmu?" aku pun kembali bertanya.

"Cie cie telpon dari siapa nih?" tanya Heri. Heri mendekatiku. Dan bicara dengan sedikit teriak di sampingku.

"Sarah, hari ini kita jalan berdua yok sambil makan-makan. Kamu mau kan?" tanya Leo. Ia sengaja melakukan itu agar yang di seberang telpon merasa cemburu. Aku segera melototi Heri sambil cemberut. Dari pada banyak gangguan akhirnya aku keluar dari kantor dan mencari tempat yang lebih kondusif untuk menelpon. Teman-temanku tertawa puas.

Setelah selesai aku kembali lagi ke ruangan. Aku duduk di sebelah Santi.

"Sarah, siapa tadi yang menelpon?" tanya Sarah.

"Oh, itu Leo. Temanku dari Pulau Bangka," jawabku.

"Itu kekasihmu? Wajahmu merah tadi ketika menerima telpon darinya. Nada bicaramu pun berubah," kata Santi.

"Ah biasa saja kok. Kami hanya berteman saja," jawabku lagi.

"Kalian sering telponan?" tanya Santi lagi.

"Iya, hampir tiap hari malah," kataku.

"Ih, pulsa mahal lho," katanya.

"Yang benar? Aku tidak pernah menelpon lama jadi aku tidak tahu," kataku.

"Iya. Coba tanya Leo habis berapa sekali menelpon," saran Santi.

"Iya, nanti kutanyakan," kataku lagi.

***

Path of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang