Part. 13

3 0 0
                                    

Dalam rasa yang resah gelisah tak menentu waktu berjalan begitu lambat. Panas api cemburu masih bergelora. Layaknya api dalam sekam tertiup angin. Aku hanya bisa menunggu. Biarkan saja Leo menemui seseorang di sana. Aku tak ingin mengganggu mereka.

Senja nan sahdu perlahan menghampiri. Menyisakan semburat jingga di langit bagian barat. Suara azan magrib menggema. Aku melaksanakan salat magrib dan berdo'a agar diberi ketenangan hati. Setelah makan malam aku meingirimkan pesan untuk Leo.

(Apa kabar Leo? Sukses pertemuannya hari ini?) Sambil diiringi emoticon senyuman.

(Dia tidak datang, aku sudah capek-capek ke sana!) dia menjawab dengan nada sedikit emosi.

Ha ha ha. Aku tertawa dalam hati. Ternyata "blind date" nya gagal. Aku sangat bersyukur namun tentu saja jangan sampai Leo tahu bahwa aku bahagia di atas penderitaannya.

(Kasihan sekali pasti capek ya?) kataku seolah simpati.

(Tentu saja. Aku naik motor dua jam perjalanan. Belum lagi kehujanan di jalan) jawabnya.

(Wow, benar-benar penuh perjuangan ya?) tanyaku lagi. Aku berpikir apa ini akibat pesanku sebelumnya yang bilang "selamat berjuang".

(Iya) jawabnya singkat. Seolah ada air dingin yang telah menyiram panas api yang tadi kurasa. Rasa cemburu telah hilang tak berbekas. Aku sangat menghargai kejujuran Leo. Laki-laki yang lain belum tentu mau minta izin atau pun mengatakan dengan terus terang bahwa ia akan menemui seorang wanita. Satu poin penting yang sangat kuhargai dalam suatu hubungan yaitu kejujuran. Jujur itu memang sakit tetapi lebih sakit lagi jika dibohongi oleh seseorang.

***
Empat tahun kami jalani dalam LDR (Long distance relationship). Tak terhitung godaan dan cobaan yang menghadang. Orang-orang di sekotar kami pun seringkali mengatakan hal yang membuat panas hati dan telinga.

"Putuskan saja Sarah Si Leo itu. Jangan-jangan waktu kalian lagi saling kirim pesan ataupun menelpon dia sedang bersama kekasihnya di sana" itulah yang dikatakan teman-teman maupun keluargaku. Begitu juga Leo sering mendapatkan saran begitu dari teman-temannya. Tapi aku percaya pada Leo. Sampai suatu hari di kala aku sedang naik Bus mau pulang ke rumah.

(Sarah, boleh aku datang ke rumahmu? Aku ingin melamarmu) pesannya padaku.

(Ah yang benar? Apa sudah yakin?) Jawabku tidak percaya.

(Iya tunggulah. Minggu depan aku datang) dia menjawab lagi.

(Oh iya tentu saja boleh) aku menjawab dengan perasaan bahagia tak terkira. Aku akan dilamar. Bayangkan? Hatiku serasa melompat-lompat kegirangan. Bunga-bunga bertaburan di dalam bus. Semua orang seolah telah tersenyum padaku. Cinta dan kepercayaan yang kami jalin selama ini akan menemui ujungnya.

Sekarang aku bukanlah seorang mahasiswi semester delapan. Dua tahun yang lalu aku telah diwisuda dan menjadi seorang guru. Ia membersamaiku dalam suka duka dan lelah payah perjuangan dari seorang mahasiswi sampai aku bekerja.

Ia pernah merasa minder dan memutuskan hubungan karena takut dengan statusku sebagai seorang pegawai negeri. Sedangkan Leo hanyalah seorang karyawan swasta di sebuah pabrik sawit di Bangka. Selama dua minggu kami "break". Aku sangat sedih. Seperti dalam sebuah lagu, nasi kumakan serasa batu, air kuminum serasa duri. Selama itu pula hilang selera makan dan tidak bisa tidur.

Aku meyakinkannya bahwa cinta tak pernah memandang status ataupun pendidikan. Jika ada yang mendekatiku hanya karena status sungguh itu bukanlah hal yang baik. Ia tak pernah tahu apa dan bagaimana perjuangan dan penderitaan yang kualami selama menempuh tujuan itu. Tapi Leo, ia selalu ada untukku. Ia sepenuhnya mendukung dan memotivasi dalam segala keadaan.

Path of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang