PROLOG

1K 83 9
                                    

"Evelyne ..."

Suara samar itu membuat mataku perlahan terbuka. Namun, manik ini harus menyipit karena cahaya yang masuk sangat terang. Tangan kananku reflek menghadang cahaya tersebut. Kupikir itu suara Ibu, tapi kemudian aku segera menyadari bahwa Ibu tidak akan pernah melakukan hal itu, memanggil namaku saja rasanya enggan.

Tak lama kemudian, cahaya itu perlahan memudar, barulah aku bisa membuka mataku dengan lebar dan menurunkan tanganku. Walaupun aku sudah membuka mata, tapi pemandangan di sana kabur. Gelap, tapi ada beberapa penerangan, setidaknya itulah yang kutangkap sedikit.

Aku mulai mengedarkan pandanganku ke seluruh sekitar. Bersaman dengan itu, pemandangan yang sebelumnya kabur, kini perlahan dapatku lihat jelas. Sontak mataku berhenti di satu objek, aku tidak menahan mataku untuk tidak membesar. Rasanya jantung ini ingin melesat keluar. Pantas saja penampakannnya gelap, karena aku sudah tidak lagi di ranjang kesayanganku.

Ini bukanlah kamarku atau salah satu dari ruangan di rumah. Penerangan di ruangan ini sangat minim, hanya ada beberapa obor dan lentera yang di letakkan di dinding. Suasananya seperti di sebuah kerajaan, entahlah, tapi aku merasa demikian. Namun, dari semua keterkejutan itu, aku lebih terkejut bahwa ternyata aku sudah dalam keadaan berdiri tegak. Bukan hanya itu, pakaian piyama putih dengan motif beruangku sudah diganti dengan gaun panjang berwarna biru.

Sangat cantik, sampai bisa membuat bibirku terbuka lebar kala memandangnya. Lalu, siapa yang memanggilku?

"Evelyne."

Untuk yang kesekian kalinya aku tidak bisa menahan keterkejutan ini. Kepalaku sontak menoleh ke kanan dan kiri berharap menemukan seseorang pemilik suara wanita tersebut. Satu menit aku mencari, tapi aku tidak menemukan siapa pun di sini. Hanya ada sebuah sofa panjang di dekat perapian, sebuah lukisan besar, pintu, dan beberapa anak tangga yang mengarah ke suatu ruangan gelap.

"Evelyne."

Bulir-bulir keringat merembes melalui pori-pori saat suara itu terdengar dan bergema lagi. Aku mengedarkan pandangan, salah satu tanganku terangkat menyentuh dada, menyadari bahwa degupan jantungku berbeda dari yang biasanya. Aku masih tidak tahu suara siapa dan aku masih tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku sekarang.

"Evelyne, tenanglah. Tidak ada yang mau dan bisa menyakitimu. Hanya ada suaraku dan dirimu di sini."

Bagu, kalimat itu sukses membuatku semakin bergidik ngeri. Kini napasku mulai terengah-engah karena saking ketakutan.

"Siapa kau?! Kenapa aku di sini?!" teriakku dengan gemetar sambal terus mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang.

Alih-alih mendapat jawaban yang bisa membuatku mengerti, yang kudapatkan hanya keheningan yang menambah pikiran negatifku. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Setelah sedikit tenang, pandanganku jatuh kepada sebuah lukisan yang letaknya tak jauh dariku. Karena jaraknya, aku harus menyipitkan mataku, berharap lukisan itu dapat terlihat jelas.

Di lukisan itu terdapat beberapa orang dengan pakaian seperti kerajaan. Entahlah pakaian apa itu, aku tidak tahu jelas, yang pasti pakaian mereka terlihat serasi. Di lukisan itu terdapat seorang laki-laki dewasa dengan pakaian berwarna merah disertari beberapa aksesoris dan sebuah mahkota terpasang dengan apik di kepalanya. Laki-laki itu terlihat sangat tegas jika di lihat dari wajahnya.

Lalu di sampingnya terdapat seorang perempuan yang nampak usianya tidak jauh berbeda dengan laki-laki itu. Gaun berwarna biru terpasang dengan rapi di tubuhnya, wanita itu terlihat cantic dan anggun. Di lukisan itu ia terduduk di sebuah kursi. Mahkota yang lebih kecil dari sebelumnya dengan desain yang cantik berwarna emas di tambah dengan bandul ungu di tengahnya membuat wanita itu semakin mengeluarkan aura bangsawan.

The Gypsophilia  (Remake Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang