[2] Family

220 49 8
                                    

Mataku mengerjap beberapa kali berusaha menyadarkan diri dari rasa kantuk yang diakibatkan oleh durasi pidato yang sangat amat lama bagiku. Karena aku tidak memiliki teman dekat satu pun, jadi aku tidak bisa mengobrol untuk menghilangkan rasa kantukku.

Setelah benar-benar sadar, aku mendengarkan pandanganku, dan kulihat sepertinya acara kelulusan ini sudah selesai. Terlihat para siswa yang mulai meninggalkan kursi mereka dan bersorak bahagia karena akhirnya kami dinyatakan secara resmi, lulus. Beberapa dari mereka ada yang langsung berlari menuju keluarganya dan melakukan foto bersama, ada juga yang sedang berbaris untuk melakukan foto bersama dengan para teman dekat. Aku mendengus kecil, sedikit kesal dan iri karena aku di suguhkan pemandangan seperti ini.

Mereka sibuk dengan kegiatan foto-foto bersama, sementara aku, aku masih duduk di kursi besi ini, sendirian. Aku memutuskan untuk tidak memandangi kegiatan foto-foto itu, jika diteruskan hanya akan membuatku semakin iri. Jadi, aku berdalih terhadap ponselku sekarang. Mengecek pukul berapa sekarang di benda pipih ini, lalu menghela nafas.

Bahkan hari ini masih lama untuk menuju ke malam hari, waktu dimana aku bisa beristirahat, fokus dengan apa yang kukerjakan dan bebas melakukan apa yang kusuka. Tentunya hal-hal semacam itu kulakukan di kamarku sendiri, itu adalah waktu terbaikku.

Membicarakan malam dan kamar, membuatku seketika mengingat apa yang kumimpikan saat malam dan sosok yang kulihat di jendela. Seketika aku membeku sendiri, mencoba mengingat kembali mimpi yang kudapatkan.

Aku mendengus, "Bahkan mimpi bisa terasa begitu nyata."

Dari mimpi yang kudapatkan, hal yang paling bisa kuingat adalah lukisan besar itu. Lukisan yang memuat gambar keluarga kerajaan, setidaknya itu yang di katakan oleh suara wanita itu. Aku tidak tahu siapa mereka yang ada di lukisan itu dan aku tidak tahu siapa yang berbicara padaku. Mataku melirik kedua kakiku, seketika teringat dengan diriku yang tidak bisa menggerakan kakiku di saat aku bermimpi. Itu aneh, sungguh aneh.

"Maaf, San hanya mengizinkanku untuk menemui seperti ini. Kau baru bisa melihatku jika dirimu sudah kembali ke Melfint."

Aku mengerutkan keningku saat mengingat salah satu ucapan yang sangat melekat padaku. Sepertinya itu adalah ucapan yang akan ku pikirkan karena aku penasaran siapa dan apa itu. Memang terasa asing, terlebih kata Melfint. Nama yang cantik, tapi aku masih belum tahu apa itu.

Beberapa menit aku melamunkan mimpi aneh itu dan sosok itu, sampai akhirnya diriku terperanjat karena seseorang menepuk bahuku. Segera aku menoleh ke sampingku, dan mendapati seorang teman sekelasku yang sedang tersenyum padaku.

"Evelyne, ayo kita foto bersama sekelas, mereka sudah berkumpul semua di sana," ucap laki-laki bernama Wooly itu diakhiri dengan senyuman khasnya. Ya, dia selalu seperti itu, tersenyum.

Lantas aku membalas senyumannya dan mengangguk, "Baik, tunggu aku."

Aku segera bangun dari dudukku, lalu merapikan pakaianku yang sedikit berantakan. Setelah memastikan aku sudah siap, Wooly berjalan duluan di depanku dan aku mengikutinya dari belakang. Ohya, Wooly ini adalah satu dari sekian banyaknya siswa di sekolahku yang paling sering berbicara padaku. Tidak, tidak sesering itu, dia hanya berbicara padaku jika memang itu penting.

Sampainya di kerumunan kelasku, aku langsung menghentikan langkahku ketika Wooly sudah bergabung dengan yang lainnya dan tampak sedang mengatur barisan. Sementara aku, aku hanya berdiri kaku diantara mereka semua. Memerhatikan betapa sibuknya mereka dengan dirinya masing-masing. Berdandan, mengobrol, dan merapikan rambut, itu yang mereka lakukan untuk tampil cantik di foto terakhir ini.

"Ayo semua berkumpul dan ambil posisi yang sudah ditentukan!!!" teriak Holland dengan suara berat dan kerasnya menyuruh mereka yang sebelumnya sibuk masing-masing menjadi tertib seketika.

The Gypsophilia  (Remake Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang