Us

43 7 0
                                    

Gia berusaha untuk menyibukkan pikirannya, mengalihkan dirinya dari berbagai macam pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Lingga. Matanya berpendar, melihat ke arah sudut kamarnya yang lain.

Ia sudah diperbolehkan kembali pulang dan disarankan untuk lebih banyak beristirahat. Bersamaan dengan itu, Lingga menawarkan diri untuk menemani Gia hingga hari pernikahan mereka tiba.

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, tanyakan padaku," ucap Lingga yang masih mengupas sebuah Jeruk untuk Gia.

"O-oh? Nothing, i wont ask anything," sanggah Gia.

Lingga tersenyum.

"Bagaimana keadaanmu? Membaik?"

Gia mengangguk pelan,"Iya. Cukup baik."

Setelah mengupas Jeruk, Lingga memberikan Jeruk itu pada Gia. Gia menatap Lingga sambil membisu.

"Kenapa? Kau ingin ku suapi?"

"O-oh, nggak," dengan gugup Gia meraih buah Jeruk dari tangan Lingga.

"Jangan khawatir, kau tidak akan sendirian lagi. Kau memiliki aku sekarang."

Gia menyibukkan dirinya menyantap Jeruk pemberian Lingga. Rasanya manis. Sepertinya calon anak mereka menyukainya.

"Kau akan bertemu dengan orang tuaku. Persiapkan dirimu."

"Kapan?" sambar Gia dengan kikuk.

"Saat hari pernikahan kita."

Gia nyaris saja tersedak setelah mendengar kata 'pernikahan'. Rasanya, ia masih tak percaya. Ini terlalu cepat untuk terjadi begitu saja.

Sekeras apapun ia berusaha mencerna, ini masih saja membuatnya tak percaya.

"Kapan kau akan mulai resign dari kantormu?" tanya Lingga tiba-tiba.

"Re-resign?"

Lingga meletakkan sebilah pisau yang sedang ia gunakan untuk mengupas buah Apel.

"Jangan bilang kau tidak berpikir untuk berhenti dari pekerjaanmu?"

Gia menelan ludah keringnya,"Kenapa harus berhenti?"

Mata Lingga seketika melotot,"Dengan keadaanmu yang lemah seperti sekarang ini, sangat tidak memungkinkanmu untuk bekerja, Gia. Apa kau akan terus bersikap egois seperti ini?"

"Egois? Aku? Tidak salah dengar?"

Lingga meletakkan buah Apel yang tengah ia kupas,"Jadi, menurutmu aku egois? Aku sudah berusaha melakukan apapun untukmu sampai detik ini. Dan, kau masih menyebutku egois?"

"I-iya."

Lingga menatap Gia tak percaya,"Gi –"

"Kau terlalu egois, mengumumkan pernikahan secara tiba-tiba tanpa membicarakannya terlebih dahulu denganku. Kau memutuskan semua yang kau lakukan ini sendirian tanpa ada persetujuanku. Bukan 'kah itu terlalu egois?" potong Gia.

"Aku melakukan semua ini untukmu."

"Tapi, aku tidak pernah meminta."

Perdebatan pun kembali mewarnai hari-hari mereka. Bahkan, hingga saat ini. Gia tetap kukuh dengan pendiriannya, dan Lingga yang mulai memaksakan pendiriannya pada Gia. Keduanya saling bersebrangan. Baik dari pemikiran, maupun tindakan.

"Rasanya, ini tidak perlu diteruskan," ucap Gia tiba-tiba. Ucapan Gia membuat Lingga membulatkan matanya, benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja Gia ucapkan.

"M-maksudmu?"

"Pernikahan."

Gia menolehkan pandangannya ke arah Lingga yang mulai menggertakan giginya. Ia tahu Lingga kesal. Namun, ia juga sama kesalnya.

"Lebih baik kau batalkan semuanya. Dan, tinggalkan aku sendirian. Itu akan jadi lebih baik untuk kita, bukan?"

Brak.

Lingga menonjok nakas yang ada di samping tempat tidur Gia.

"Kau gila?" Lingga bangkit dari duduknya. "Apa kau tahu resiko besar apa yang ku pertaruhkan untukmu?"

Gia terdiam. Airmatanya mulai berlinang.

"Aku melakukan semua ini untukmu. Untuk dia," Lingga menunjuk ke arah perut Gia. "Untuk anak kita. Dan, kau bilang aku egois?"

Airmata Gia mulai kembali menetes. Ia tidak suka Lingga membentaknya. Ia benci Lingga menyebut namanya dengan amarah. Dan, ia benci Lingga yang saat ini.

"Aku tidak pernah memintamu untuk menanggung ini semua, Ling –"

"STOP!" pekik Lingga. "Harus 'kah kita selalu berselisih paham karena ini? Mau sampai kapan kita akan seperti ini? Bahkan, kita belum memulai rumah tangga, dan kau sudah bersikap plin-plan seperti ini, Gia!"

Nada bicara Lingga yang tinggi, membuat Gia tidak nyaman. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dan, kembali menangis dalam keputus-asaannya.

Selama lima menit berlalu, Lingga membiarkan Gia tenggelam dalam tangisnya.

Saat tangisnya tak juga berhenti, Lingga berusaha meredam emosinya. Ia menghampiri Gia dengan duduk di sampingnya. Lalu, menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.

"Sorry," ucap Lingga dengan nada pelan. "Maaf, kalau aku membentakmu. I didn't mean it."

Lingga mencium pucuk kepala Gia dengan perlahan. Dan, mengusap punggung Gia hingga ia merasa tenang kembali.

"Aku benci melihatmu menangis. Aku benci saat kau menangis karenaku. Berhentilah menangis. Apapun yang terjadi, aku berjanji akan selalu bersamamu. Aku akan melewati ini bersamamu. Dan, tidak akan membiarkanku kehilanganmu."

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang