𝙀𝙀𝙍𝙎𝙏𝙀

566 34 6
                                    

Cembengan sebentar lagi digelar. Perayaan sebelum masa giling tebu ini sudah menjadi tradisi di Ragajampi. Orang Tionghoa totok yang membawanya ke tengah masyarakat kami. Mereka mengajarkan untuk melakukan ziarah ke makam para leluhur supaya masa giling tebu berjalan lancar.

Aku tidak tahu mengapa pemerintah kolonial Belanda mengizinkannya. Mungkin karena di mata mereka, Tionghoa lebih tinggi derajatnya dari pada kami. Lihat saja, para Tionghoa masih diberi keleluasaan dan hak-hak istimewa. Banyak Tionghoa totok yang masuk dalam golongan calo, penjual eceran, pegawai, dan akuntan. Sedangkan pribumi? Hanya menjadi budak dengan jam kerja setiap hari selama satu tahun penuh. Namun menurut cerita bapak, keleluasaan yang diberikan kepada Tionghoa hanyalah taktik belaka. Kompeni merasa bangsa bermata sipit itu adalah lawan yang sulit ditaklukkan.

Langit sore tergantung dengan warna keemasan berlarik-larik. Aku menunduk dan mempercepat langkah menuju pemakaman di ujung desa, tempat di mana Cembengan digelar. Beberapa orang berjalan berkelompok menuju ke arah yang sama denganku. Mereka bukan hanya sekadar ingin melihat perayaan Cembengan. Namun, ini adalah saatnya meraup rezeki. Kapan lagi bisa menyantap aneka makanan dan buah-buahan yang terhidang untuk sesajen? Mereka hanya cukup menunggu hingga perayaan usai. Lalu mereka akan riuh berebut sesajen dan memasukkan jarahan ke dalam kantong goni usang tanpa isi. Mereka tidak takut kualat. Perut lapar yang mereka rasakan lebih mengerikan dari apapun juga.

Memang keadaan sedang serba sulit. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, di tanah yang jelas menjadi milikmu, tidak ada lagi kebebasan untuk menggunakannya. Apa yang mereka butuhkan, adalah apa yang harus kautanam. Jika nanti saat panen tiba, mereka adalah satu-satunya pihak yang akan membeli. Tentu dengan harga yang mereka tetapkan sendiri. Jangan mengira harga belinya senilai dengan harga porselen dari Cina. Bahkan ini tidak cukup untuk membeli jagung separuh gerobak.

Lalu bagaimana kami bisa makan? Sedangkan lumbung kosong tanpa penghuni. Sebab area yang seharusnya ditanami padi, menjelma sebagai kebun tebu. Bulir-bulir menguning yang gemuk, kini menjadi lonjoran batang tebu yang diangkut lori milik pabrik gula. Lenguhan sapi menarik pedati berisi gabah, berganti dengan desis uap lokomotif yang meraung membelah ladang.

"Mirah!" sebuah teriakan berulang dari arah belakang membuatku menghentikan langkah. Suara yang sudah kukenal, Sadiyem. Kami bersahabat semenjak masih kecil.

Benar saja. Ketika aku membalikkan badan, Sadiyem berlari kecil sambil terengah-engah. Peluh menetes dari wajah hingga membasahi bagian depan kemban jaritnya yang telah usang.

"Haduh, Biyung! Tobat! Jalanmu seperti dikejar kompeni!" gerutu Sadiyem. Ia mengelap dahinya dengan punggung tangan. Kulitnya yang kecokelatan terbakar sinar matahari sore.

Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Segera kutarik tangannya dan membekap mulut Sadiyem.

"Ngawur! Didengar serdadu landa itu baru tahu rasa!" makiku perlahan. Sadiyem hanya mengikik.

Ia memang perempuan yang usil dan pemberani. Sepertinya ia tidak pernah mengenal rasa takut. Ketika usia kami belum genap delapan, ia mengajakku mencuri jambu air di rumah Den Karta, juru tulis pabrik gula yang istrinya empat. Pria tambun itu memang memiliki rumah dengan pekarangan yang sangat luas. Mungkin hampir seluruh jenis tanaman buah ada di sana.

Setengah mati aku menolak ide konyol Sadiyem. Namun, ia justru menyeret lenganku dan menuju rumah berpagar tinggi itu. Anak sais pedati itu mengendap-endap memasuki pintu gerbang yang sedikit terbuka, lalu menyingkapkan kainnya sebatas paha. Kemudian secepat kilat ia memanjat pohon jambu air yang buahnya sangat lebat. Sadiyem dengan lahap menyantap jambu air di atas dahan pohon sambil memetikkan untukku. Aku yang sudah pucat pasi, menungguinya di luar pagar, sambil memanggil namanya supaya lekas turun. Jantungku seolah berhenti berdetak ketika centeng Den Karta keluar dari rumah. Dengan tenang Sadiyem turun dari atas pohon sembari membawa sekantong jambu air. Centeng Den Karta memaki Sadiyem sambil mengacungkan golok yang dibawanya. Namun, Sadiyem justru menjulurkan lidah dan berlari meninggalkan pekarangan rumah Den Karta.

"Kenapa kamu ndak nunggu aku? Biasanya kita berangkat bareng?" protes Sadiyem ketika kami melanjutkan perjalanan ke pemakaman.

"Kukira kamu tidak datang. Kata Simbok, tadi rumahmu ramai," jawabku.

Sadiyem mengumpat.

"Ya. Sadiran bikin ulah. Dia bilang akan menjualku ke tuan Louis van Mook. Aku marah seperti kesetanan. Aku melempar Sadiran dengan alu, hingga kepalanya berdarah," ucapnya datar.

Aku refleks berhenti berjalan dan memegang lengan tangannya. Sadiyem juga refleks berhenti.

"Apa?!" ucapku kaget sambil menoleh ke arah Sadiyem.

Sadiyem membuang muka dan meneruskan langkah.

"Ta-tapi, kenapa?"

Pertanyaan bodoh, rutukku dalam hati. Tentu saja ini karena kemiskinan yang melanda semua pribumi. Termasuk keluarga Sadiyem. Bapak Sadiyem akhir-akhir ini jarang menarik pedati karena tidak ada lagi yang menggunakan jasanya. Kini tidak ada lagi penduduk Ragajampi yang berbelanja ke pasar membeli bahan pangan, atau sekadar memindahkan padi ke lumbung.

"Sadiran kalah taruhan sabung ayam. Ia membutuhkan uang. Kalau tidak, ia akan dihabisi," desisnya.

Harusnya aku sudah bisa menduga. Bahwa ternyata ini bukan hanya semata persoalan tidak bisa makan.

Sadiran adalah kakak laki-laki Sadiyem satu-satunya. Ia merupakan buruh di pabrik gula di mana bapakku menjadi mandornya. Kegemaran Sadiran adalah berjudi sabung ayam. Kalau tidak, ia akan pulang sambil berjalan sempoyongan setelah puas mabuk tuak di warung Yu Ginah.

"Lalu?" tanyaku kehabisan kata-kata.

"Lalu?" ulang Sadiyem. "ndak ada satu pun wanita pribumi waras yang sudi jadi simpanan kompeni sialan itu," ucapnya dengan mata nyalang.

Ya. Aku setuju dengan ucapan Sadiyem. Tidak ada satu wanita pribumi waras yang sudi jadi simpanan kompeni. Sayangnya, banyak wanita pribumi kurang waras yang suka rela menyerahkan diri untuk dijadikan gendakan. Pemuas nafsu bagi para pria kulit putih itu. Godaan bergelimang harta akan membuat mereka menghalalkan segala cara. Strata sosial para nyai, sebutan bagi mereka yang menjadi simpanan kompeni, yang otomatis lebih tinggi dari sebelumnya juga menjadi daya tarik tersendiri.

"Ndak usah kamu pikir, aku baik-baik saja." Sadiyem membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum kecut. Selama ini aku hanya sekadar mendengar kisah wanita pribumi yang dipaksa menjadi nyai. Namun, kini sahabatku sendiri justru mengalaminya.

Tidak terasa gapura pemakaman umum sudah terlihat. Terlihat pribumi-pribumi yang mengincar sesajen sudah siap sedia. Anak laki-laki bertelanjang dada dan hanya bercelana belacu terlihat berlarian kesana-kemari. Sementara anak-anak perempuan dengan tubuh kurus berlilit jarit menggamit lengan ibunya. Beberapa pria dewasa menyunggi tampah-tampah berisi persembahan. Wangi aroma apem yang menguar ketika mereka melewati kami, membuat perutku berkeruyuk. Siang tadi aku hanya sedikit menyantap nasi jagung dan sayur daun lumbu.

Tiba-tiba Sadiyem berhenti mendadak dan menyikut lenganku, sehingga aku mengaduh perlahan.

"Kenapa, to?" protesku sambil memberengut.

Sadiyem hanya memajukan dagunya ke satu arah di bawah pohon asam. Mataku mengikuti arah yang dituju Sadiyem.

Kang Koesno.

Jantungku seolah meloncat keluar. Kakiku terasa lemas dan susah digerakkan. Aku merasa wajahku memanas dan pipi ini bersemu merah. Pria yang akhir-akhir ini datang ke dalam mimpiku, sedang berdiri di sana sambil bersedekap sambil menatap lurus ke depan. Ke arahku.

#CintaNyaiRagajampi
#CintaNyaiRagajampi1

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang