VIJFTIENDE

162 17 0
                                    

Dua hari setelah kepulanganku, Bapak tetap memperlakukan seperti seorang tawanan. Simbok kini juga menuruti kemauan bapak. Ia hanya masuk ke kamar untuk meletakkan piring berisi makanan atau untuk memandikanku di pancuran belakang rumah. Bapak benar-benar tidak memperbolehkanku keluar rumah.
Kemarin siang kudengar suara Sadiyem di beranda rumah. Rupannya ia mencariku. Namun, Simbok melarangnya masuk. Samar aku mendengar teriakan Sadiyem.

“Rah, jangan menyerah. Berjuanglah demi kebebasanmu, Rah. Aku tahu kamu mendengarku. Kang Sapta terus-menerus menanyakan kabarmu,” pekiknya.

Aku terperanjat ketika mendengar Simbok berkata, “Jangan temui Kasmirah lagi, Yem. Mandor Soeroso tidak main-main kali ini.”

Rupanya Simbok sudah setali tiga uang dengan Bapak. Ia bahkan tidak mempersilakan Sadiyem masuk dulu. Padahal aku ingin bertanya apakah pengairan di Sumbersari sudah normal kembali. Hatiku tidak tenang, khawatir jika Bapak masih mencari masalah karena Kang Koesno masih di sana. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika Kang Sapta dan warga Desa Sumbersari masih merasakan imbasnya.

“Makan dulu, Ndhuk.”

Aku bergeming. Aku sama sekali tidak berniat melirik piring yang diulurkan Simbok. Aku tetap bersandar pada gedheg yang menjadi dinding kamar. Mataku menatap lepas keluar jendela dengan terali kayu. Sudah sekian menit aku mengabaikan kehadiran Simbok di kamar.

“Ayo, ini ada lauk enak yang dikirimkan pesuruh Tuan van Hoorn,” bujuk Simbok tanpa lelah sembari menyuapkan makanan ke mulutku.

Pesuruh tuan van Hoorn? Aku menatap penuh tanda tanya ke arah Simbok. Sekilas aku melirik isi piring di tangan Simbok. Nasi dan daging berada di sana. Menu yang sangat jarang kutemui. Kecuali jika kebetulan Bapak membawa pulang sisa hidangan pesta di rumah petinggi pabrik gula.

“Iya.  Tadi pesuruh Tuan van Hoorn datang. Dia mengantarkan baju untukmu, juga lauk pauk dan buah-buahan,” jelas Simbok seolah tahu isi hatiku.

“Jadi, sekarang Simbok sudah ikhlas aku menjadi nyai?” sindirku sembari memalingkan wajah lagi.

Simbok tidak menggubris pertanyaanku. Ia hanya menghela napas lalu memaksaku membuka mulut. Aroma wangi rempah yang menguar dari piring mau tidak mau membuat perutku keroncongan. Sejak semalam aku tidak makan apa pun.

“Ayo, makan. Kalau kamu sakit, Simbok lagi yang akan jadi bulan-bulanan Bapak.”

Mendengar keluhan Simbok, aku menyerah. Kubuka juga mulut ini dengan setengah hati. Namun, ketika potongan daging itu berada di atas permukaan lidah, aku tidak bisa untuk tidak berdecak. Siapa pun yang memasak makanan ini, tentu ia koki yang handal.

“Enak, kan?” tanya Simbok sembari menyuapiku lagi. Aku mengangguk dengan keraguan.

“Koki di rumah Tuan van Hoorn sangat pintar memasak. Nantinya kamu juga harus bisa memasak juga untuk tuanmu,” ujar Simbok sambil mengambilkan segelas air untukku dari atas meja.

Aku tersedak mendengar perkataan Simbok. Buru-buru kusambar gelas dari tangan Simbok dan menenggak isinya hingga tandas.

“Simbok sudah ikhlas aku menjadi nyai?” Aku mengulang pertanyaanku yang tadi diabaikan Simbok.

Simbok berdehem. Ia menatapku.

“Tidak ada seorang wanita baik-baik yang mau menjadi simpanan. Begitu juga tidak ada seorang ibu yang tega membiarkan anak perempuannya menjadi gundik,” tandasnya.

“Lalu mengapa sekarang Simbok seolah menyetujuinya?” Aku memprotes sikapnya. Mataku mulai terasa panas dan basah.

“Adakah yang Simbok bisa lakukan lagi untuk mengeluarkanmu dari sini?” tanya Simbok sembari memegang lenganku.

“Simbok tempo hari sudah mencari celah supaya kamu bisa kabur. Tapi, kenyataannya? Kamu yang menyerah,” sambung Simbok. Ia lalu menutup wajah dengan tangannya dan terguguk.
Hatiku terasa nyeri.

“Mbok, bu-bukan aku menyerah. Bukan a-aku tidak tahu balas budi atas pengorbanan Simbok. Tapi, ba-banyak orang yang terluka akibat kepergianku. Begitu juga Simbok yang harus rela dihajar Bapak. Aku tidak mau kalian menjadi korban,” ucapku sambil terisak.

“Belum lagi, pria yang aku cintai dan menjadi alasan untuk kabut, ternyata egois. Di-dia hanya memikirkan kepentingannya saja.” Isakku semakin kencang.

Simbok menghela napas panjang. Ia menyeka air mata yang sempat mengalir. Simbok lalu menepuk pundakku.

“Maka dari itu, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menerima. Apa yang ada di atas meja adalah hidangan yang harus kita santap. Enak atau tidak, itu sudah menjadi takdir,” ujar Simbok.

“Siapkan mentalmu, Ndhuk. Setelah ini tidak ada lagi Kasmirah. Yang tersisa hanya Nyai Ragajampi,” bisik simbok. Ia mengusap ujung matanya. Tetesan bening itu meluncur lagi.

Aku menunduk. Apa yang dikatakan Simbok memang benar. Aku tidak punya kekuatan apa pun untuk melawan kehendak Bapak. Suka atau tidak, aku harus melaluinya.

“Belajarlah dengan baik di sana, Ndhuk. Manfaatkan waktu sebaik mungkin. Dalam lemahmu, tempalah diri menjadi kuat. Pelajari apa yang bisa kamu pelajari. Jangan gunakan hati, karena tuanmu hanya membutuhkan ragamu,” pesan Simbok sembari mengelus kepalaku yang kini ada di pangkuannya.

“Simbok tidak pernah rela, tidak akan pernah rela. Hanya doa seorang ibu yang bisa Simbok berikan supaya kamu selalu diberi keselamatan.”

Aku menenggelamkan wajah yang telah basah oleh air mata di atas jarit Simbok. Pundakku naik turun dalam isak tangis yang tak berkesudahan.

“Besok pagi centeng Tuan van Hoorn akan menjemputmu. Tidurlah. Nikmati kebebasanmu malam ini,” pungkas Simbok sembari mengelus kepalaku dan mengangkat piring kotor untuk dibawa keluar kamar.

“Anakmu sudah tidur? Pastikan ia beristirahat cukup malam ini. Sinyo Belanda itu tentu ingin melihat Kasmirah dalam keadaan cantik dan sehat.” Samar terdengar suara Bapak di ruang tengah tepat ketika Simbok selesai mengunci pintu kamarku.

Aku menjatuhkan diri di atas amben. Kubenamkan wajahku di atas bantal tipis dan menggigit permukaannya kuat-kuat. Aku berteriak sekuat tenaga. Kukepalkan tangan dan menghantam amben untuk meluapkan amarah. Dadaku sesak, sungguh sesak. Bagaimanapun aku tidak ikhlas dengan takdir kali ini. Aku tidak mau hidupku berada di bawah kaki kompeni. Aku tidak sudi pria kulit putih itu menjamah tubuhku. Tidak, aku tidak mau ini terjadi!

Dengan bergegas, kubongkar lemari pakaian yang ada di samping amben. Mataku nyalang mencari-cari benda yang bisa membantu mengakhiri penderitaanku. Sebuah kain putih tersembul di bawah tumpukan jarit.

“Ini dia!” sorakku dalam hati.

Kutarik seprai putih yang terlipat rapi. Kurentangkan masing-masing ujungnya. Kemudian kubentuk menjadi ulir hingga terasa kaku. Aku segera menaiki amben dan melontarkan satu ujung seprai pada celah kayu yang menjadi penyangga atap kamar.

Satu kali, gagal.

Dua kali, gagal.

Aku terengah. Napasku memburu. Aku tidak bisa menunggu lagi. Kali ini harus berhasil.

Tiga. Berhasil!

Seprai yang telah kubentuk ulir kini tergantung pada satu celah kayu. Kutarik kuat-kuat kedua sisi seprai hingga sama panjang. Aku memastikan celah kayu dan seprai ini kuat menyangga tubuh yang akan tergantung. Mataku basah lagi oleh air mata. Aku tersenyum getir mengenang nasibku untuk yang terakhir kali. Jika memang ini adalah cara untuk mengakhiri penderitaan yang akan dimulai besok pagi, aku terima dengan senang hati.

CATATAN:
Gedheg: dinding dari anyaman bambu

Cinta Nyai Ragajampi (READY) Diterbitkan oleh LovRinz PublishingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang